Pages

Senin, 07 Februari 2011

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung

Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang ’terbaik’, yakni ’modern’.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai, melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai. Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan ’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern, sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’ yang sudah diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?
Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya ’hukum’ modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya, teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun yang hidup di dunia beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’. Sementara pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat" baru, dan "hukum" baru.

Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu, bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah. Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik, sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak patennya Malaysia.

Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga hak cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.

Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.

Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang Hyang Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar umat Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari pemborosan royalti hak cipta.

Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan Mamad belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.
***
Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini, sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.

Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari, musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral, akhlaq, takwa, mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.

Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja….
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2007/PmBNetDok)

Quote of The Day : Genghis Khan

quote of the day : Bahkan Temudjin sekalipun harus berperang dengan mengorbankan darah dan air mata untuk menjemput takdirnya sebagai Genghis Khan

Matahari 10 Tahun

10 tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk mengingat kembali sebuah kenangan yang terlewat. Seperti baru kemarin rasanya saat terakhir kali aku menginjakkan kaki di kota itu. Kota yang mampu menorehkan berjuta luka dalam waktu semalam. Kota dimana sebelum malam mengerikan itu aku sudah menggantungkan mimpi yang sangat tinggi, setinggi matahari. Dan memang, akhirnya matahari itupun membakarku tanpa ampun. Undangan 10 tahun silam yang kutemukan tak sengaja saat membersihkan gudang telah membawaku kembali mengingat masa-masa itu.

Saat itu aku sungguh menikmati duniaku, aku menemukan orang-orang yang senasib sepertiku. Dibuang dari masyarakat karena dianggap sampah. “BIKIN MALU ORANG TUA!” adalah kalimat yang paling sering aku, dan mungkin ribuan orang sepertiku, dengar. Kalimat itu sungguh sangat menyakitkan. Bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk organ vital perasaanku. Namun, karena terlalu seringnya, tusukan itupun menjadi terasa nyaman saat menghujam jantungku.

Di dalam kereta ekonomi gerbong tiga kala itu, aku berbaur dengan puluhan penumpang lain yang rela berdesak-desakan untuk pergi ke kota tujuan mereka masing-masing. Begitu pun aku, sambil memandangi surat undangan yang sudah sebulan lalu aku terima, aku mempunyai mimpi besar tentang kebebasan dan persamaan hidup. Dan, iniah momen yang kupikir sangat tepat bagiku untuk menyampaikan ide-ide yang aku simpulkan dari curahan hati sahabat-sahabatku.

Kereta itu berjalan terasa amat lambat. Tatapan aneh dari penumpang-penumpang lainnya membuatku semakin tidak nyaman. Aku merasa bagaikan seorang Yahudi yang terjebak dalam gerbong berisi orang-orang Nazi anak buah Hittler. Begitu terasing dan terancam. Tatapan sama seperti saat ayah dan kakakku mengusirku dari rumah, hanya tatapan iba dari ibuku lah yang waktu itu seakan mengatakan bahwa aku tidak sendiri. Sambil menggenggam erat undangan ‘harapan’ itu, aku mencoba untuk menahan luka. Aku memimpikan suatu hari nanti tak akan ada lagi tatapan seperti itu, karena akupun juga ciptaan Tuhan sama seperti mereka dan aku juga haus kasih sayangNya.

Dan akhirnya tiba juga aku di stasiun tujuanku. Dengan mantap kususuri jalanan kota itu. Aku tunjukkan sobekan kertas berisi alamat teman lamaku ke orang setempat yang aku temui jika aku mulai kebingungan. Dan tetap saja aku masih dapat melihat tatapan-tatapan itu disini. Bahkan aku agak sedikit takut dan ngeri ketika melihat puluhan orang berjubah di salah satu sudut jalanan itu. Entah apa yang mereka bicarakan, namun jelas sekali terlihat aroma kemarahan di wajah mereka.

Tibalah saatnya malam yang aku tunggu, di aula sebuah gedung pinggiran kota aku berkumpul dengan seratusan orang-orang yang bernasib sama sepertiku. Di tempat ini aku tak lagi merasa aneh, tak lagi kutemui tatapan-tatapan itu, tatapan ayah, tatapan penumpang kereta, dan yang paling membuatku nyaman adalah tak ada tatapan orang-orang berjubah itu.

Aku mempersiapkan diriku sebaik mungkin, mulai dari pakaian, gaya berjalan, serta catatan kecil dari apa saja yang ingin aku sampaikan nanti. Aku benar-benar berharap malam ini akan membawa perubahan. Perubahan yang selama ini aku impi-impikan. Perubahan yang didambakan yang dinanti-nanti oleh ribuan orang yang senasib denganku. Bagaikan malam yang menantikan datangnya mentari keesokan harinya, mimpi akan kebebasan dan persamaan itu tampak begitu nyata. Perubahan tampak seperti berada di depan mata.
Dan memang benar, perubahan itu memang datang. Perubahan yang bahkan lebih besar dari apa yang kuharapkan semula. Karena seketika batu-batu beterbangan di seluruh aula, bahkan tak sengaja mata ini melihat kobaran api kecil di beberapa sudut ruangan. Teriakan-teriakan suci memekakkan telinga semakin keras terdengar. Dan orang-orang berjubah itupun berkeliaran, bak tentara Jengis khan yang memporak-porandakan kota Baghdad. Kejam dan membawa kehancuran.

Sekuat tenaga aku pun lari, meninggalkan asa, mimpi, dan cita-cita tentang kebebasan terbakar bersama tumpukan batu. Aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi, aku hanya ingin selamat. Sekilas terbayang-bayang wajah ibu yang selalu membelaku dari kemarahan ayah. Entah kenapa aku ingin berlari secepat mungkin untuk menemuinya. Mengadukan semua yang aku alami, seperti saat makan siangku dirampas kakak kelas sewaktu SD dulu. Aku merindukan saat-saat itu.

Dan...
“Yah,ayo cepetan yah. udah ditungguin mama tuh.” Suara gadis kecil berusia 4 tahun itu bagaikan malaikat yang menjemputku dari penjara kenangan kelam itu.

Aku seakan bangun dari mimpi buruk dan mendapati diriku berada di dunia yang lebih baik. Kuletakkan kembali undangan yang berkop “KONFERENSI WARIA TINGKAT NASIONAL 2001” tersebut dan menemui istriku. Seorang wanita yang telah menolongku dari kejaran orang-orang berjubah, 10 tahun yang lalu.

Irul
Madiun, #home, 02/2/11 06:13 PM

love network

love network
love for all