Pages

Rabu, 18 Mei 2011

NAFASKU

Aku tak pernah memandang siapapun sebagai orang lain. Entah itu orang yang memang aku kenal, orang yang sekedar lewat lalu lalang, maupun anak-anak kecil yang sedang berlari-larian penuh canda. Bukan karena aku orang yang ramah, supel, dan sebagainya. Sekali lagi bukan. Ini semua karena tak seorangpun yang menganggapku ada.
Terkadang aku merasa tak ada gunanya lagi aku bertahan hidup. Suamiku telah lama mati, dibantai oleh orang-orang kampung hanya karena pernah menerima bantuan caping dan sabit berlogo palu arit warna merah. Aku menyesal saat itu tidak bisa berbuat apa-apa. Jelas sekali tergambar dalam ingatanku saat malam terakhir kita tidur bersama. Mendengar suara-suara mencurigakan, suamiku menyuruhku lari lewat pintu belakang dengan membawa serta anakku. Ingin sekali aku menolak perintah suamiku kala itu, namun tatapan matanya yang begitu tajam seolah-olah telah mendakwaku. Aku tak punya pilihan lain. Dan sesuai garis nasib dari Tuhan, malam itu adalah kali terakhir kita bertatap muka.
Dan kemana kemanakah perginya anakku? Aku benar-benar tidak sanggup jika ada yang bertanya tentang anakku. Bertahun-tahun telah kujaga amanah terakhir suamiku, yang meskipun tidak pernah diungkapkannya namun sangat jelas kumengerti dari tatapan matanya, untuk membesarkannya. Pekerjaan apapun telah kulakukan, dan segalanya telah kujual untuk dapat menghidupinya. Tapi siapa sangka, mata merah saat dia dalam gendonganku di malam tragis itu, ternyata telah ‘membakar’ jantung dan seluruh aliran darahnya.
Tak kusangka wajah mungil yang sangat kusayangi melebihi apapun itu menyimpan dendam yang sangat mendalam. Kasih dan perhatian yang kucurahkan tak sanggup membendung trauma dan cemoohan orang-orang yang selalu membayanginya. Dan layaknya ketika tragedi itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, aku tak mampu berbuat banyak untuk melawan mereka, orang-orang ‘suci’ yang selalu menghina dan mengucilkanku. Tidak pernah jelas alasan mereka melakukan ini semua, tapi setahuku adalah karena aku istri dari seorang anggota PKI. Dan aku benar-benar menyesal, karena dendam tersebutlah yang akhirnya membunuh satu-satunya anakku.
Apalah artinya aku sekarang ini, hanya seorang janda PKI yang tinggal sebatang kara. Yang harus duduk berjam-jam menjual mainan sederhana berasal dari dua cangkang keong yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mampu menimbulkan bunyi-bunyian, yang tentunya sudah sangat sedikit sekali anak kecil yang mau meliriknya, di pelataran sebuah swalayan kecil yang modern. Swalayan yang telah menambah susah kehidupan pedagang-pedagang kecil yang tak cukup kuat melawan arus modernisasi dengan tanpa ampun merampas pelanggan-pelanggannya. Aku pun juga tidak mampu berbuat apa-apa. Siapa pula yang sudi memperhatikam orang tua sepertiku. Dengan tubuh bongkok dan kulit penuh keriput, tak kan ada yang tertarik apalagi memperjuangkan nasibku maupun nasib orang-orang sepertiku.
Kepada siapa lagi aku harus berharap? Pemerintah? Aku rasa tidak. Aku benar-benar tidak tega, karena jelas sekali mereka kini sedang kesusahan mengatasi masalah dan kepentingannya sendiri. Dan justru pemerintah lah yang dulu menyebabkan jalan hidupku menjadi tragis seperti ini. Menjadi orang asing di tengah-tengah bangsa sandiri.
Bersyukurlah aku dilahirkan sebagai orang yang sombong, yang tidak mudah untuk mengakui kekalahan. Karena hanya dengan kesombongan itulah aku tetap mempertahankan hidupku ini, tidak seperti orang-orang lain yang memilih untuk lampus. Karena jika aku bunuh diri, itu berarti aku telah kalah. Aku memilih untuk menjalani hidup seperti sekarang ini. Terinjak-injak oleh kesewenangan yang semakin merajalela. Tetapi harus aku ulangi lagi, bahwa aku tidak kalah. Karena sampai sekarang aku masih tetap hidup, tetap bernafas, mewakili nafas suami dan anakku.

Irul
Surabaya, #O-108, 26/4/11 08:07 PM

Diri Sendiri

Quote of the day : Menjadi diri sendiri mempunyai dua konsekuansi yang dramatis, semakin disukai atau semakin dibenci. ~ JRX

Tak Ingin Menjadi Dewasa

Tidak sengaja aku buka blog lama yang sudah  ga uptodate, dan menemukan postingan-postingan lama yang menurutku sangat mengharukan. Memang sangat kacau dari segi penulisan dan gramatikal,tapi aku pikir tulisan itu sangat layak untuk di re-posting di blog ini. Inilah postingan tersebut (setelah melalui proses editting) :

hwa...
kemarin malam sebenarnya adalah malam yg sangat biasa, tapi tidak tau kenapa tiba-tiba otakku (atau lebih tepatnya jiwaku) melanglang buana ke batas yang sebenarnya tidak ingin aku lewati. and in those jorney, I found a question that brings me to the sweetest memory I ever felt.
kenapa aku harus menjadi dewasa? ingin sekali rasanya bisa terus menjadi anak2, karena dengan begitu aku bisa bermanja-manja, penuh kepolosan dann kejujuran. Aku rindu sekali saat-saat seperti itu, aku rindu ayah dan ibu yang slalu ingin membahagiakanku, aku rindu ayah yang slalu menutupi ksalahanku di depan ibu.Aku rindu saat kita bertiga bersama, saat suka dan duka. Saat-sat ketika kita dibawah, juga saat-saat dimana Tuhan telah mencurahkan karunianya tanpa terputus.
Ya Allah,aku rindu saat ayah menyelimuti aku yg belum benar2 tertidur, malam yang sebenarnya tidak terlalu dingin itupun berubah menjadi sangat hangat,
Aku juga rindu ketika aku tertidur di depan tv dan ternyata saat terbangun aku sudah ada di tempat tidur dengan selimut yang terlipat rapi, ayahlah yang dengan kasih sayangnya memindahkanku, padhal waktu itu aku sudah SMA!!

Ya Allah, apakah Engkau benar-benar akan menghimpunkan kami dalam tempat yg telah Engkau janjikan? karena ssungguhnya aku bnar-benar merindukannya.
Ya Allah , sayangilah mereka, karena sesungguhnya mereka benar-benar menyayangiku.
Kalau saja mereka sekarang ada di depanku, tentu akan kupeluk mereka, ingin kumenangis di pangkuan mereka, dan tertidur manja di antara mereka, seperti dulu lagi.
Ya Allah, bisakah aku kembali ke masa2 itu lagi?
mungkinkah aku kembali kecil seperti dulu?
Ataukah Engkau akan memberikan kebahagiaan lain sbg pemggantinya?

Ya Allah, jagalah dan muliakanlah ayahq disana, karena sungguh dia telah menjaga dan memuliakanku.
Amiin.... 

HATI


                Sesungguhnya kekuatan terbesar dalam diri manusia bukan terletak pada fisik ataupun kemampuan  bermain otak. Namun kekuatan tersebut terletak di dalam hati masing-masing.
                Setiap manusia dilahirkan dengan hati yang putih dan suci. Hatilah yang bisa membuat kita tahu benar salah. Sejahat apapun manusia, walaupun sedikit, hatinya akan selalu berkata tidak ketika ia melakukan kejahatan. Namun, jika kejahatan tersebut tetap dilakukannya maka bukan berarti hatinya yang kotor. Melainkan dirinya sendiri yang tidak bisa melindungi hatinya dan akhirnya hanya menuruti hawa nafsunya tanpa mendengarkan apa kata hatinya.
                Oleh sebab itu, agar kita bisa menjadi manusia yang berbudi luhur, kita harus mempelajari berbagai macam ilmu. Hal itu ditujukan agar diri kita mampu menjaga dan menuruti apa kata hati kita. Sehingga dengan begitu kita dapat membedakan benar dan salah.
                Tapi jangan sampai ilmu membuat kita lupa. Menjadikan kita Adigang, Adigung, Adiguno. Kalau sudah begitu, ilmu bukan lagi sebagaipenjaga hati, namun ilmu akan menjajah hati kita hingga tak lagi kita hiraukan lagi apa kata hati kita.
                Hidup yang sempurna adalah jika kita mampu menempatkan ilmu dan hati sesuai dengan fungsi masing-masing. Kita gunakan hati untuk merasakan suatu keadaan, lalu hati akan memerintahkan apa yang harus atau tidak boleh kita lakukan. Sedangkan ilmu adalah senjata kita untuk menuruti apa yang telah diinstruksikan hati serta untuk menjaga hati kita agar tetap berperan dalam hidup.
                Karenanya, jika kita ingin hidup bahagia dunia akhirat kita tidak boleh menolak apa kata hati kita (ojo selak karo batine).  Karena hati merupakan anugerah dari Allah SWT yang paling berharga. Allah menjadikan hati sebagai kompas dalam perjalanan hidup di dunia yang singkat ini.
                Jika kita mampu melaksanakannya, insya Allah kita akan menjadi manusia yang berbudi luhur, tahu benar dan salah, serta bertakwa kepada Allah SWT. Sehingga benarlah falsafah SH Terate yang berbunyi :
“Manusia dapat dihancurkan, manusia dapat dimatikan, tetapi manusia tidak dapat dikalahkan  selama manusia itu masih setia pada hatinya sendiri.”
12 Oktober 2007

Selasa, 03 Mei 2011

BAYANG



“Kau tidak akan pernah mengerti!” Bentakku  dengan sangat keras. Nafasku menderu tak beraturan, kurasakan puluhan butir keringat kaluar dari pori-pori wajahku yang tengah merah padam menahan amarah. Mataku menatap tajam ke arahnya. Benar-benar tajam, setajam dia membalas tatapannya padaku.
            “Apa kau bilang?! Tutup mulutmu, aku mengerti kamu luar dalam. Sama sekali tidak ada rahasia milikmu yang aku tidak tahu. Hidup ini memang berat, tapi apakah dengan kita bunuh diri semua masalah akan selesei?”
            Aku kehabisan kata-kata, sedikit menyesal aku memulai lagi pertengkaran ini. Selalu menimbulkan luka, luka baginya dan luka bagiku. Semua hal yang dapat melukainya selalu saja membuatku merasa sakit. Seakan telah menjadi hukum alam yang harus aku terima dan jalani. Terkadang aku menikmati keadaan ini, namun tak jarang pula aku merasa sangat menderita. Seperti yang kini tengah kurasakan.
            Entah kenapa akhir-akhir ini emosiku cepat sekali tersulut. Aku juga tidak tahu kenapa sekarang kami sering sekali bersebrangan pendapat, yang tidak jarang memicu pertikaian sperti yang baru saja terjadi.
            Namun demi mengingat kenangan dan persahabatan kita selama ini, kemarahankupun surut juga. Terbersit dalam pikiranku bahwa selama ini aku terlampau keras dan egois. Dan baru kali inilah aku dengar dia membentakku.
            “Aku minta maaf, aku berantakan.” Kataku pelan hampir tak terdengar. Tubuhku kini telah bersandar di dinding yang sedari tadi menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Dan sekarang dinding itu pulalah yang membantuku menyangga semua beban-beban dan masalahku.
            “Tak apa. Bukankah dulu kita selalu akur? Walaupun secara mendasar sifat kita berbeda, tidak pernah kita seperti ini. Apa yang telah membuatmu menjadi sangat temperamental seperti ini?”
            “Entahlah, aku terlalu lelah untuk berpikir.”
            “Baiklah, sebaiknya kamu tidur sekarang.”
            Memang benar, tubuh dan otakku sangat lelah kali ini. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku dan dia berbeda. Aku rindu dia yang dulu, yang tidak pernah membantah pendapat dan perkataanku. Entah siapa yang sebenarnya telah berubah? Aku tidak benar-benar tahu. Juga mimpi-mimpi itu, mimpi yang selalu saja muncul setiap kali aku memejamkan mata itu benar-benar menyiksaku.
            Aku rebahkan tubuh lelahku sekenanya diatas lantai, hanya kain tipis yang tidak pantas disebut karpet memisahkanku dengan dinginnya lantai keramik kos-kosan. Dan sejurus kemudian aku telah terbang ke alam mimpi. Alam dimana aku bisa benar-benar bebas menjadi diriku sendiri. Hanya disinilah aku tidak akan menemukan dirinya. Di dalam mimpi, eksistensiku benar-benar absolut. Tidak lagi berada di bawah bayang-bayangnya lagi.
            Seperti hari kemarin, suara itu datang lagi. Suara yang sama dengan mimpi-mimpiku sebelumnya. Sekian lama kucari darimana suara itu berasal,tapi sia-sia. Seperti dalam mimpi sebelumnya, tak pernah bisa kutemukan asal muasal suara itu.
            “Bagaimana? Apakah kau sudah siap menjadi dirimu sendiri?” Pertanyaan yang sama, yang tidak pernah bisa aku jawab.
            “Siapa kau?” aku berteriak ke segala arah, tak tahu dimana wujud lawan bicaraku.
            “Tidak perlu kau tahu, turuti saja apa kataku. Sudah saatnya kau berdiri sendiri. Keluarlah dari bayang-bayang orang itu!!”
            “Tidak bisa, aku tak bisa berpisah dengannya.” Jawabku lagi setengah membentak.
            “Kau bisa. bunuh dia!!”
            Suaranya begitu menggelegar. Seketika aku terbangun dan mendapati nafasku yang sedang terengah-engah. Aku rasakan tanganku tengah menggenggam sesuatu.
            “Tidak. Darimana pisau ini?” tanyaku kebingungan, tak tau darimana pisau itu berasal dan bagaimana tiba-tiba bisa ada dalam genggamanku.
            Kulihat dia sedang tertidur pulas, membuatku menjadi semakin kebingungan. Tak mungkin sanggup aku membunuhnya. Tapi aku juga tak sanggup terus-menerus tersiksa seperti ini.
            Sudah kuputuskan. Kuangkat pisau itu, dan kutatap ujungnya yang tajam dan berkilau. Kilatan cahaya yang memantul dari tajamnya pisau itu seakan telah ikut meyakinkanku. Kuarahkan tepat ujung itu ke tengah-tengah jantungku.
            “Selamat tinggal bayanganku. Aku benar-benar tidak sanggup terus-menerus berbagi tubuh denganmu. Akan kutemui Tuhan dan kuminta untuk membuatkan satu tubuh lagi untukku.” Itulah kata-kata terakhir yang kuucapkan. Dengan sangat yakin kuayunkan pisau tepat di jantungku.
            “Bodoh. Jangan lakukan itu!!” sempat kudengar teriakannya menahanku. Tapi terlambat.
***
            Di pagi yang sangat cerah, seorang anak kecil penjaja koran mulai mondar-mandir menawarkan dagangannya. Sekilas terbaca headline koran harian pagi itu ‘SEORANG PENGIDAP KEPRIBADIAN GANDA DITEMUKAN BUNUH DIRI DI KAMAR KOS’.
Irul
Surabaya, #kos, 24/4/11 02:01 PM


.

love network

love network
love for all