Pages

Minggu, 21 Agustus 2011

Tangisan Seorang Iblis


                       “Lapar.” Hanya kata itu yang sanggup diucapkan pria tua yang kini di depanku. Tampak sekali bersusah payah dia menggerakkan bibir keringnya. Dengan nafas yang sudah ‘senin kemis’ dia mencoba bertahan hidup. Entah sudah berapa lama kerongkongannya tak dilalui oleh barang sepotong roti sisa sekalipun.
                Sebagaimana manusia pada umumnya, tentu aku merasa iba. Bagaimana mungkin kondisi mengenaskan seperti pemandangan yang kulihat ini tak menggetarkan hati. Yang aku ketahui dari pelajaran agama dan kitab suci, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, yang mempunyai akal dan perasaan kasih saying terhadap sesame makhluk Tuhan lainnya. Mungkin hanya manusia berhati batu saja yang tega berdiam diri tidak berbuat apa-apa dan membiarkan pria tersebut mati kelaparan.
                Seketika aku teringat kisah tentang seorang pelacur yang bahkan rela menuruni sumur hanya untuk mengambilkan air untuk minum anjing yang hampir mati kehausan. Bahkan orang yang selalu dianggap hina dan berdosa seperti itu saja masih memiliki peri ‘kehewanan’ yang sangat mengharukan. Apalagi semua ini tentang manusia. Tentang makhluk yang memiliki bentuk morfologi sama dengan kita. Ada juga kisah tentang Mahatma Gandhi, yang meskipun sedang berjuang memerdekakan negaranya dari kolonialisme Inggris, manusia bijak ini tetap tidak mau menggunakan kekerasan sebagai bentuk perlawanannya. Juga masih ada Nelson Mandela, Noam Chomsky, Benazir Bhutto, dan masih banyak lagi orang-orang yang membuat kita bangga telah menjadi anggota spesies homo sapiens.
                Karena itulah aku berpikir bahwa siapapun yang akan menemukan dia dalam kondisi seperti ini pasti akan dengan segera menolongnya. Paling tidak memberikan makan dan minum barang sedikit, paling tidak untuk memperpanjang nafasnya beberapa jam lagi. Namun aku cepat-cepat menarik pikiranku tersebut. Aku teringat cerita sejarah tentang kekejaman Adolf Hitler, Vledimir Lenin, dan Joseph Stalin. Tiga orang jelmaan iblis yang telah membantai jutaan nyawa manusia selama hidupnya. Entah terbuat dari apa hati mereka bertiga? Aku pikir bukan lagi dari batu, melainkan dari baja berbahan DRI (Direct Reduction Iron) yang terkenal sangat keras. Sehingga membunuh jutaan manusia bagi mereka tidak lebih dari sekedar menginjak mati sekawanan semut tanpa sengaja.
                Ketiga iblis tersebut hanyalah sedikit contoh dari banyaknya iblis-iblis berwujud manusia yang bertebaran di muka bumi ini. Yang dengan senang hati membunuh, merampok, dan memperkosa sesamanya. Hak asasi, kemanusiaan, keadilan dan persaudaraan hanyalah angan-angan kosong bagi mereka yang bahkan sama sekali tidak dicita-citakan.
Semakin berkembang dan betambah kaya perusahaan-perusahaan multinasional raksasa di seluruh penjuru dunia, namun semakin sulit pula bagi Negara-negara miskin seperti Ethiopia dan Somalia untuk sekedar lepas dari bencana kelaparan. Semakin bertebaran dan ramainya minimarket-minimarket modern, namun semakin bangkrut pula toko-toko kecil yang sejak lama menjadi sumber kehidupan jutaan istri dan anak-anak. Semakin meningkatnya kesejahteraan dan kemewahan para penguasa, namun semakin melaratnya rakyat-rakyat gembel di seluruh pelosok negeri.
Mengetahui kenyataan tersebut memnuat kita seperti ditampar oleh pukulan yang sangat keras. Menimbulkan berjuta pertanyaan yang entah bisa dijawab atau tidak. Bagaimana mungkin kita, manusia, sebagai puncak kesempurnaan penciptaan Tuhan melakukan tindakan-tindakan yang hanya pantas dilakukan oleh binatang? Bagaimana mungkin sesama manusia sebagai makhluk yang beradab bisa saling memangsa, saling memonopoli, dan saling memarjinalkan? Dimanakah penghargaan kita terhadap nyawa? Dan dimana pula cita-cita kita untuk mewujudkan keadilan?
Entahlah, kepalaku terlalu pening untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Biarlah para sarjana dan ahli-ahli teori yang memikirkan jawabannya. Sekarang aku harus kembali fokus. Di depanku ada seorang tua yang sedang meregang nyawa, kondisinya sangat memilukan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya punya uang yang bahkan kurang membeli ‘pengganjal’ perutku sendiri, dan aku benar-benar bukanlah termasuk golongan orang-orang kaya. Aku juga termasuk orang yang kelaparan, yang jatah rejeki dari Tuhanku telah dirampok bos-bos kapitalis raksasa.
Dan yang lebih menyedihkan lagi aku bukanlah orang seperti Mahatma Gandhi, bahkan aku juga tak lebih manusiawi dari pelacur penyelamat anjing. Aku mungkin adalah titisan Hittler, lenin, atau mungkin Stalin. Aku pun juga layaknya iblis, aku bukan manusia. Nuraniku telah lama mati, dibunuh dengan keji oleh kemiskinan dan kelaparan.
Dan kini aku menangis, sambil melangkah pergi meninggalkan orang tua itu. Kumatikan saat itu juga rasa ibaku kepadanya. Entah apa yang akan terjadi dengannya nanti aku tidak tahu. Biarlah menjadi urusan Tuhanku dan iblis-iblis lain yang telah mematikan nurani dan sisi kemanusiaanku.
IRUL at lovely room
12 august 2011 09:01 pm

Kisah Tragis Sang Penggagas Republik


Tan Malaka mungkin hanyalah salah satu dari sekian banyak pahlawan di negeri ini yang terlupakan. Namanya tidak pernah muncul di buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, meskipun gelar pahlawannya tidak pernah dicabut. Selama lebih dari tiga dasawarsa rezim Orde Baru seolah-olah melabur hitamkan nama Tan Malaka dari panggung pergerakan kemerdekaan hanya karena ia menganut paham Marxisme dan pernah menjadi ketua Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang paling dibenci, dan kemudian ‘dihabisi’ oleh penguasa Orde Baru..
Tan Malaka lahir di Suliki, Sumatera Barati pada tahun 1897 dengan nama asli Ibrahim. Ipie, sapaan akrab Ibrahim, kemudian menerima anugerah gelar  Datuk Tan Malaka pada tahun 1912  sebagai raja di Nagari Pandan Gadang. Tan Malaka kecil merupakan anak yang sangat cerdas, dan karena kecerdasannyalah Tan  mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah guru Harleem di Belanda. Adalah G.H. Horensma, seorang warga Belanda yang telah menganggap Tan sebagai anaknya sendiri, yang berjasa dalam mencatatkan nama Tan Malaka sebagai orang pribumi pertama yang sekolah di negeri penjajahnya, Belanda.
Kehidupannya di Belanda inilah yang kemudian mempengaruhi perkembangan pemikiran Tan Malaka ke arah pola pikir Marxis. Selain karena rajin membaca Koran-koran yang berhaluan “kiri”, kondisi Harleem, kota tempat Tan belajar, yang menyuguhkan kemiskinan dan depresi ekonomi serta pengalaman hidup di rumah satu keluarga proletar malang di kota itu telah ‘menjerumuskan’ pemikiran Tan Malaka semakin ke arah “kiri”. Tan sadar akan adanya jurang yang luas dan dalam antara golongan borjuis dan proletar.
“Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim dinamai revolusioner.” Tutur Tan Malaka seperti yang dituliskannya dalam buku Dari penjara ke Penjara.
Ideologi Marxisme yang diyakini Tan Malaka tersebut telah merubah secara drastis jalan hidupnya. Ia tidak lagi bisa menjalani kehidupan secara normal seperti orang kebanyakan. Hal ini terbukti setelah ia mampu menyelesaikan pendidikannya sebagai guru selama enam tahun dan kembali ke tanah air. Baru satu tahun kembali ke Indonesia, Tan Malaka harus kembali lagi Belanda. Namun kali ini dengan status sebagai orang buangan. Tan dibuang ke Belanda pada tahun 1922 karena aktivitas politiknya sebagai pemimpin PKI. Namun hal tersebut tidak lantas membuat Tan putus asa,  melainkan justru menambah kemantapan hatinya untuk berjuang melawan kapitalisme dan imperialisme yang semakin menyengsarakan dan menindas masyarakat proletar.
Selama pengasingannya di luar negeri, Tan Malaka aktif dalam organisasi Komintern (Komunis Internasional) yang dipimpin oleh Vledimir Lenin, seorang ‘dewa’ komunis yang berkedudukan di Moscow. Secara memukau Tan menyampaikan pidatonya selama lebih dari lima menit di depan kongres Komintern keempat di Moscow, dalam hal ini Tan Malaka bertindak sebagai perwakilan Indonesia. Kala itu Tan menekankan pentingnya kerja sama dengan kaum Muslim dunia (Pan-Islamisme) untuk melawan kapitalisme. Meskipun gagasannya ini tak didukung, tetapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Tak hanya sampai disitu, Tan bahkan diangkat sebagai wakil Komintern untuk wilayah Asia Timur. Untuk itu, pada tahun 1923 Tan Malaka pindah ke Kanton, sekarang Guangzhou, kota di selatan Cina yang padat.
Di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern itulah Tan Malaka menulis sebuah brosur panjang yang berjudul : Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis :”Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”  Melalui buku ini Tan Malaka tercatat sebagai tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia, jauh lebih dulu disbanding Muhammad Hatta,  yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pledoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag pada 1928, dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada 1933. Buku Tan Malaka ini terbit di Kanton pada tahun 1925, namun sayang hanya beberapa eksemplar saja yang sampai di Indonesia. Tan malaka kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar di Indonesia dan menjadi referensi bagi pejuang-pejuang lain seperti Muhammad Yamin dan Bung Karno.
Bung Karno sangat mengagumi Tan Malaka dengan menyebutnya sebagai ‘seorang yang mahir dalam revolusi’. Bahkan Bung Karno sempat membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap oleh sekutu, meskipun selanjutnya dilemahkan oleh Hatta dengan menambahkan tiga nama lagi, yaitu Sjahrir, Iwa Koesoema Sumantri, dan Wongsonegoro.
Setelah sekitar 20 tahun berada dalam pengasingan di luar negeri, Tan Malaka akhirnya berhasil pulang ke Indonesia dengan menyelinap melalui Medan pada 10 Juni 1942. Saat itu Tan menggunakan nama samaran Legas Husein. Di Indonesia, perjuangan Tan semakin keras dan berapi-api untuk mewujudkan kemerdekaan yang seratus persen dan tanpa kompromi. Ia sangat tidak setuju jika kemerdekaan Indonesia nanti diperoleh sebagai hadiah dari Jepang.
Di masa sebelum proklamasi, Tan Malaka menyamar sebagai Ilyas Hussein. Dengan nama ini dia bekerja sebagai kerani (juru tulis) di pertambangan batu bara di Bayah, Banten. Disini, Tan alias Ilyas Hussein menyaksikan sendiri nasib Romusha yang sangat memprihatinkan. Romusha mendapat upah 40 sen dan 250 gram beras setiap hari. Uang 40 sen saat itu hanya cukup untuk membeli satu buah pisang. Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha dengan menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Di tempat ini jugalah Tan, yang kala itu sedang menyamar, pernah membantah pidato Bung Karno yang meminta rakyat agar membantu Jepang dalam peperangan karena telah berjasa mengusir Belanda dari tanah air.
Tak hanya sampai disitu saja, peran Tan Malaka juga sangat besar dalam menggerakkan pemuda untuk menggelar rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang kawasan Monas) pada 19 September 1945, atau sekitar sebulan setelah proklamasi kemerdekaan. Rapat ini memiliki nilai yang sangat penting karena merupakan simbol dukungan massa yang pertama kali terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih terkesan ‘hanya di atas kertas’. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Namun, semua perjuangan dan hasil buah pikir Tan Malaka selama ini tidaklah menjadi bahan pertimbangan ketika secara sepihak bung Karno memenjarakannya selama dua setengah tahun tanpa pengadilan. Tidak hanya sampai disitu, jalur gerilya yang dipilih Tan untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah Indonesia yang semakin terkikis oleh agresi Belanda dan politik diplomasi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia justru membawanya kepada kematian. Tan Malaka mati ditembak oleh seorang prajurit dari batalion Sikatan karena dituduh telah melawan Soekarno-Hatta.
Sebuah kisah yang memilukan di tengah perjalanan suatu bangsa dalam mencari jati dirinya. Seorang bapak bangsa yang telah menghabiskan separuh dari umurnya dalam pelarian untuk kepentingan kemerdekaan, justru hidupnya harus berakhir tragis di tangan tentara Republik yang dicita-citakannya.
Oleh : Munirul Ichwan
Pada 12 Agustus 2011

Senin, 15 Agustus 2011

Kita Memberhalakan Agama?


               Saya sempat mengkhawatirkan nasib Muhajir, seorang teman di Jakarta yang lama tidak ada kontak. Jangan-jangan dia jadi korban banjir yang membenamkan Jakarti akhir-akhir ini. Alhamdulillah, ternyata dia baik-baik saja. Bahkan kemarin dia kirim SMS dan sama sekali tidak cerita soal banjir. Dalam SMS-nya Muhajir cerita: "Ada seorang pendeta kencing di dekat patung Budha. Ketika murid-murid mempermasalahkannya, si pendeta menjawab, 'memang saya harus kencing di mana?' Di musim dingin, pendeta kehabisan kayu api. Maka dia jadikan patung kayu itu sebagai bahan bakar. Ketika para murid mempermasalahkannya, si pendeta bilang, 'patung yang bisa terbakar bukan Budha’."
               "Apa tanggapan kamu?" tanya Muhajir.
               "Saya suka cerita ini. Menurut saya, si pendeta sedang melakukan semacam dekonstruksi terhadap simbolisme agama."
               "Bagus, jadi kamu suka cerita saya?" Sambung Muhajir. "Saya juga suka, maka cerita itu saya sampaikan ke kamu."
               "Ya, terima kasih."
               "Jangan cuma terima kasih. Cerita itu saya sampaikan dengan maksud agar kamu mau mengulasnya. Sebab di tengah kaum muslim pun yang namanya simbolisme hampir-hampir menghijabi makna agama. Karena terjebak dalam simbolisme maka banyak di antara kita telah menjadikan agama sebagai berhala. Akhirnya, kita tidak mampu menghayati ruh agama yang berada di balik simbol-simbolnya."
               Saya tersenyum dan harus berfikir dulu sebelum membalas SMS Muhajir. Ah, pikiran ikhwan ini harus dikritisi dulu. Kalau tidak, dia bisa kebablasan. "Kamu jangan terlalu galak terhadap simbolisme. Karena, bagaimana juga simbol dalam kehidupan beragama itu penting. Simbol berupa bangunan masjid, ritus-ritus, lembaga, penampilan, bahkan nama tetap diperlukan, antara lain untuk membangun identitas. Soal nama saja misalnya; kamu mau bila cucu kamu diberi nama George Walter Bush?" Karena hanya lewat SMS saya tidak tahu begaimana reaksi pada wajah Muhajir. Tapi saya bisa bayangkan dia tersenyum.
               "Iya sih, dan saya bukan sedang mengatakan simbolisme sama sekali tidak penting. Cuma, kita melihat saudara-saudara kita kaum muslim sering berperilaku berlebihan dalam membela simbol-simbol keagamaan. Karena simbolisme, kita juga sering tersesat dalam perasaan yang salah. Misalnya, karena telah menjalankan rukun Islam secara lahir, dan telah menjunjung simbol-simbol agama, maka kita merasa telah sampai kepada tujuan akhir." 
               "Memang tujjuan akhir keberagamaan kita apa?" Tanya saya.
               "Kamu jangan meledek! Bukankah kamu yang dulu bilang tujuan akhir keberagamaan kita adalah budi luhur alias akhlak karimah? Dan katamu dulu, ridha ilahi - itulah tujuan terakhir keberagamaan kita – mustahil tercapai di luar akhlak karimah."
               "Ya, lalu?"
               "Begini. Sekarang ini kita rasakan, dan kita lihat gejalanya, simbolisme dalam keberagamaan kita sudah terlalu kental. Kita giat membangun dan menyuburkan simbol-simbol tetapi kurang perhatian terhadap penghayatan makna. Maka gejala yang muncul adalah pembangunan fisik keagamaan yang menjamur, pelaksanaan ritual yang kian subur, bahkan politik berbasis agaama yang kian heboh, namun..."
               SMS Muhajir putus. Wah, mungkin karena kalimatnya sudah terlalu panjang. Atau pulsanya habis? Karena tak sabar menunggu maka saya kejar dia. Kebetulan pulsa saya masih penuh. "Namun, apa? Kamu jangan bikin orang penasaran."
               "He-he, kamu terpancing," jawab Muhajir setelah saya tiga menit menunggu.
               "Begini. Pembangunan dan penyuburan simbol kurang diimbangi dengan kesadaran pengamalan makna keberagamaan. Apa itu? Ya budi luhur atau ahlak mulia itu. Padahal tanpa akhlak mulia kita tidak mungkin bisa memenuhi amanat besar yang sedang kita emban. Yakni amanat untuk membuktikan di dunia bahwa Islam benar-benar merupakan rahmat atau cinta yang dilimpahkan Allah kepada seluruh alam. Dan bila kita tidak berhasil membuktikan hal itu, artinya, dalam beragama kita hanya terjebak dalam simbol dan melupakan makna. Atau kita hanya sibuk mengurus jalan tapi mengabaikan tujuan. Dan konsekuensi atas kegagalan ini akan mendatangkan kesulitan bagi kita di dunia maupun akhirat. "
               Wah, boleh juga pikiran ikhwan Muhajir ini. Saya jadi bingung bagaimana menanggapinya dengan SMS. Namun sesungguhnya pikiran Muhajir ini bukan barang baru. Sejak lama para cendekia muslim sudah sering mengingatkan hal yang sama, bahwa simbolisme dan simbolisasi yang berlebihan justru bisa mendangkalkan makna agama. Namun peringatan itu seakan tidak mempan. Pemberhalaan terhadap agama seperti yang dikatakan Muhajir masih tetap subur. Maka muncullah gejala di mana-mana; salam(perdamaian), rahmat (kasih sayang), kejujuran, kedermawanan, dan nilai-nilai akhlak karimah lain justru masih gersang di tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini.
Banyaknya orang yang melakukan kewajiban shalat belum mengurangi tindak keji dan mungkar. Setiap tahun ratusan ribu orang pergi haji, namun nilai-nilai kedermawanan tetap tidak berkembang. Sebaliknya, nilai-nilai keakuan malah kian menguat.
               "He, kok kamu tidak membalas SMS saya? Kamu kan belum mengulas cerita tentang pendeta itu?"
               "Saya tak akan mengulas cerita itu karena kamu telah melakukannya sendiri dengan lebih baik. Ya, simbolisme dalam kehidupan agama memang tak bisa dihindarkan. Namun saya setuju, simbolisme itu jangan sampai terlalu jauh menjadi pemberhalaan terhadap agama. Karena kita hanya beribadah kepada Allah, bukan apa pun selain-Nya."
 
(Ahmad Tohari )

Kamis, 11 Agustus 2011

Logika Sejarah

Secara teoritis, sejarah memerlukan dua pilar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, jika orang ingin melakukan rekonstruksi tentang masa lampau. Kedua pilar itu adalah logika dan pengetahuan. Dengan kekuatan logika orang akan mampu menyaring dan memisahkan secara cerdas dan kritikal antara fakta dan mitos legenda. Logika itu sendiri akan membimbing orang untuk melihat masa lampau secara jernih dan bertanggung jawab. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam al-Muqaddimah-nya sangat menekankan agar seorang sejarawan tidak boleh menjadi partisan terhadap pandangan-pandangan dan mahzab-mahzab tertentu dalam membaca masa lampau, sebuah “penyakit” yang diidap oleh sejarawan muslim sebelumnya.

Pilar kedua adalah pengetahuan yang luas yang harus dimiliki seorang sejarawan untuk mendukung kariernya sebagai seorang peneliti terhadap kelampauan yang tidak mungkin lagi diakses secara langsung karena sudah terjadi. Melalui jejak kelampauanlah seorang melakukan rekonstruksi tentang peristiwa tertentu pada masa lampau yang menjadi pusat perhatiannya.

Untuk apa dan untuk kepentingan siapa? Bertnard Russel mengatakan untuk pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Italia, Benedetto Croce (1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang hidup, bukan untuk kepentingan mati. Sebab itu, Croce berteori, sejarah selalu bersifat kontemporer, sekalipun semuanya diambil dari kelampauan. Karena sifatnya kontemporer, unsure subjektif tidak dapat dihindari, selama bangunan sejarah itu ditegakkan di atas fakta.

Untuk mendapatkan pengetahuan luas sebagai salah satu pilar sejarah, Ibn Khaldun dalam meramu teorinya telah mempelajari lingkungan geografis, politik, sosiologis, antropologis, psikologis, dan dimensi-dimensi lain yang dapat memperkaya metode analisisnya. Daerah jelajah intelektualnya adalah Afrika utara dan Andalusia. A.J. Toynbee (1889-1975) demikian tinggi menilai al-Muqaddimah sebagai sebuah karya dahsyat yang pernah diciptakan otak manusia. Tanpa latar belakang pengetahuan yang luas, seorang sejarawan pasti akan gagap dan meraba-rabadalam melihat masa lampau yang memang unik itu.

Karena sejarah ditulis untuk kepentingan orang hidup dalam sebuah zaman dan ruang tertentu, maka teori khilafah, misalnya, yang diusung kembaliolehTaqiyuddin an-Nabhani untuk membangun sebuah dunia Muslim yang masih berserakan ini, patut juga diperhatikan. Tetapi, mengaitkannya sebagaise suatu yang syar’I, jelas berlebihan, sebab tidak ada pijakan logika Qur’ani yang dapat dijadikan dasar sepanjang pengetahuan saya. Memang, khilafah adalah fakta sejarah masa lampau yang benar-benar terjadi. Hanya orang buta saja yang tidak dapat melihat fakta keras ini.

Tetapi apa yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk membangun system khilafah semata-mata sebagai buah itjihad yang terikat dengan ruang dan waktu. Sebagai itjihad, kedudukannya adalah nisbi, sah diterima dan sah pula untuk ditolak dengan argumentasi yang kokoh secara agama dan logika. Orang yang berilmu tidak boleh memaksakan sebuah pendapat yang bersifat itjihadi.

Dalam persfektif ini, meratapi kejatuhanTurki Usmani di tangan Kemal Attaturk yang dipandang sejumlah orang sebagai bentuk khilafah yang terakhir, yang jelas menyesatkan dan ahistoris. Saya mendukung pendapat Shah Wali Allah, pembaru dari India abad ke-18, yang mengatakan bahwa system khilafah hanya sampai pada periode Ali bin AbiThalib, khalifah terakhir dari al-khulafa’ al-rasyidin yang hanya berusia kurang sedikit tiga dasawarsa.

System politik yang berkembangsedudahitu di dunia Muslim adalah system kerajaan, baik dalam skala kecil maupun skala besar dalam format imperium. Bukan sistem khilafah karena salah satu diktum Al-Qur’an tentang prinsip egalitarian dalam politik telah dibuang ke dalam limbo sejarah. Mu’awiyah adalah figur transisi antara sistem khilafah dan sistem kerajaan. Dengan mengangkat anaknya Yazid sebagai penggantinya, maka bermulalah sistem kerajaan itu, sekalipun untuk mengelabui umat Islam agar tetap setia, mantel khalifah terus dipakai, sedangkan proses pembentukan atau pengangkatannya sudah tidak lagi mengacu kepada Al-Qur’an yang mengedepankan syura (musyawarah) dalam kehidupan masyarakat.

System khilafah dalam teori al-Mawardi (w. 1058), misalnya, masih saja mensyaratkan keturunan Quraisy untuk menjadi kahlifah. Ini tidak mengherankan, karena dia membangun teori politiknya dalam upaya mempertahankan Daulah Abbasiyah yang masih berdarahQuraisy yang pada abad ke-11 sudah sangat rapuh. Bagi saya, masalah kepemimpinan umat yang dikaitkan dengan keturunan darah tertentu harus ditolak karena anti logika danbahkan anti Al-Qur’an yang menempatkan manusia sama di depanTuhan dan di depan sejarah.
Perubahan zaman harus mengubah cara berpikir kita, tetapi nilai-nilai dasar yang autentik wajib dipertahankan. Dalam perspektif ini, prinsip syura dalam Al-Quran diartikulasikan sesuai dengan keperluan zaman kita. Logika sejarah mengatakan begitu. Maka, bentuk demokrasi lebih dekat kepada system syura itu.

Oleh Ahmad Syafii Maarif
Dalam Bukunya "Al-Qur'an dan Realitas Umat"

Poligami, Monogami, dan Kontradiksi Modernitas


         Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.
         Apa yang saya tulis ini sebetulnya sudah menjadi diksusi secara pribadi dengan sejumlah teman waktu saya masih di Jakarta dulu. Agar tak menimbulkan salah paham, saya akan mengemukakan posisi moral saya sejak awal. Saya tidak setuju terhadap praktek poligami. Dalam pandangan saya, perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami. Perkawinan poligami hanya fase antara untuk menuju ke fase ideal, yaitu monogami. Saya tak bisa menutup mata bahwa poligami disahkan oleh Islam, sekurang-kurangnya Islam dalam diskursus resmi. Tetapi, bagi saya, itu hanyalah “solusi temporer” Islam menuju kepada keadaan yang lebih ideal, yakni perkawinan dengan satu isteri.
        Yang menarik adalah bahwa monogami ternyata bukan saja merupakan “keadaan ideal” yang dikehendaki oleh agama. Monogami, lebih penting lagi, adalah juga menjadi norma yang sangat penting dalam kehidupan modern. Sensibilitas masyarakat modern terbentuk dalam norma semacam ini, sehingga mereka melihat praktek poligami sebagai semacam “warisan” dari masa lampau yang “jahiliyah”. Poligami adalah bagian dari feodalisme pra-modern.
        Mungkin perlu semacam riset yang lebih mendalam mengenai asal-usul sosial dan historis yang bisa menjelaskan kenapa monogami menjadi norma utama dalam masyarakat modern. Saya percaya bahwa norma ini tidak datang “ujug-ujug” dari langit. Ia terbentuk melalui proses historis tertentu. Dengan kata lain, kaum pejuang keadilan jender perlu melakukan “analisa historis” atas munculnya norma keluarga dengan satu isteri itu. Historisitas tidak saja berlaku pada perkembangan ajaran dan doktrin agama, tetapi juga berlaku pada norma-norma yang kita kenal dalam masyarakat modern saat ini.
        Ada satu paradoks dalam modernitas yang jarang kita sadari. Paradoks ini layak kita pikirkan dengan baik-baik, sebab entah pengutuk atau pemuja modernitas sama-sama tidak bisa menghindarkan diri dari gejala modernitas itu sendiri.
        Di satu pihak, modernitas mengandung suatu impuls atau dorongan ke arah asketisisme, yakni hidup dengan etos kerja keras, tepat waktu, kalkulasi, efektivitas, dsb. Saya memandang, norma monogami mungkin berasal dari impuls ini. Saya tak tahu bagaimana menjelaskan hubungan antara monogami dengan etos asketisme dalam modernitas. Saya hanya menduga saja, bahwa bentuk keluarga kecil dengan isteri satu lebih sesuai dengan etos masyarakat modern yang menghendaki segala bentuk kepraktisan, efisiensi, kerja keras, dsb. Selain itu, keluarga kecil juga lebih memenuhi kebutuhan masyakarat modern untuk melindungi hak-hak milik pribadi. Konsep “hak milik” sangat penting kedudukannya dalam kesadaran masyarakat modern, sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan masyarakat pra-modern.
        Tetapi ada impuls lain dalam modernitas yang jarang sekali kita sadari, padahal kita lihat gejalanya dalam kehidupan sehari-hari. Yakni dorongan untuk selalu mencobai hal-hal baru. Saya ingin menyebutnya sebagai impuls advonturisme. Penjelajahan Columbus untuk mencari “dunia baru” ternyata bukan saja melambangkan suatu kegiatan ekonomi dalam masyarakat modern untuk mencari tanah baru untuk dieksploitasi. Lebih dari itu, penjelajahan itu juga berlangsung pada kehidupan pribadi, termasuk dalam kehidupan seksual.
        Dua kecenderungan ini jelas tidak “klop” satu dengan yang lain. Kecenderungan asketik medorong ke arah etos kehidupan yang menekankan semangat “menahan diri”, sementara kecenderungan yang kedua mendorong ke arah “pelampiasan nafsu”. Yang satu bersifat “frugal” atau “ugahari”, yang lain bersifat boros.
        Paradoks ini paling kelihatan dalam konteks kehidupan keluarga. Di satu pihak, modernitas menekankan norma monogami: keluarga dengan satu isteri dan sedikit anak. Di pihak lain, kita menyaksikan bagaimana eksperimentasi dengan pengalaman seks meledak dalam masyarakat modern. Kita semua tahu bagaimana modernitas mengekspose segala kemungkinan yang ada pada tubuh, baik laki-laki atau, terutama, perempuan. Dengan berkembangnya teknologi audio-visual seperti televisi dan film, kecenderungan itu sekarang mengalami radikalisasi yang sangat ekstrem.
          Paradoks ini selalu saya rasakan saat saya menonton televisi di Amerika (juga di Jakarta, sebetulnya). Saya menonton peragaan tubuh yang erotis di TV, begitu rupa sehingga saya berpikir dalam hati, “Kenapa saya tak bisa menikmati pengalaman erotisme seperti diperagakan dalam televisi itu? Bukankah kesempatan untuk itu terbuka lebar?” Tetapi di pihak lain, bagaimana saya mendamaikan antara “keinginan” mencobai erotisme itu dengan norma lain yang juga dijunjung tinggi dalam masyarakat modern, yakni norma hidup dengan satu isteri?
        Dengan kata lain, di satu pihak saya dituntut, entah oleh modernitas atau juga oleh agama sebagaimana saya pahami, untuk hidup asketis dengan satu isteri, begitu pula isteri saya harus hidup dengan satu suami. Tetapi di pihak lain, saya (dan juga isteri saya) berada dalam suatu habitus sosial di mana erotisme hampir meresap ke segala pori-pori.
       Tentu ada banyak solusi untuk paradoks seperti ini. Pertama, solusi yang “legal”, yakni saya akan gonta-ganti pasangan. Kalau saya bosan dengan isteri saya, atau isteri saya bosan dengan saya, kita sepakat untuk cerai, untuk mencobai pasangan baru yang lebih menggairahkan. Solusi ini sangat sulit berlaku dalam konteks masyarakat Kristen di mana perceraian ditabukan. Bukan hanya itu, solusi ini, secara praktis, juga sangat tak menguntungkan, dan dilihat dari sudut kepentingan melindungi hak milik yang sangat penting dalam masyarakat modern, sangat tidak menarik. Yang lebih masuk akal dalam konteks masyarakat modern adalah hidup dengan satu pasangan, terutama karena hal itu lebih menjamin keamanan dan perlindungan hak milik.
Kedua, solusi yang “tak legal”. Solusi ini memiliki banyak bentuk, misalnya “selingkuh”, dengan akibat yang juga pada akhirnya tak menguntungkan dari segi kebutuhan menjaga hak milik, selain merugikan hak-hak perempuan. Bentuk yang lain adalah “membeli” kebutuhan seksual di “pasar bebas”. Solusi ini jelas tak bisa diterima, sekurang-kurangnya dari sudut agama. Juga tak bisa diterima dari sudut norma monogami.
Ketiga, solusi keagamaan. Inilah solusi yang ditawarkan oleh kalangan konservatif. Solusi ini sama sekali tertutup dalam masyarakat Barat, tetapi masih terbuka dalam masyarakat di luar Barat, seperti masyarakat Islam. Tetapi, solusi ini juga bukan tanpa cacat. Kalau poligami dibolehkan dengan alasan untuk “menampung” gairah seksual laki-laki, kenapa hanya dibatasi empat. Kalau gairah dibiarkan, sudah tentu
empat tidak cukup. Dalam habitus sosial di mana erotisme meresap begitu dalam, seseorang akan terdorong untuk mencobai kegiatan seksual tanpa batas.
         Solusi terakhir yang juga diam-diam mulai banyak menarik masyarakat modern adalah hidup lajang, seraya membuka diri untuk mencobai segala bentuk kemungkinan seks. Solusi ini hanya menarik buat kelas menengah yang memiliki surplus penghasilan yang memadai untuk mendukung segala kemungkinan ke arah “advonturisme”. Alternatif melajang tentu bukan semata-mata didorong oleh adventorisme seksual, tetapi juga oleh keinginan untuk memburu karir dan pekerjaan yang lebih baik. Tampaknya yang terakhir ini lebih banyak terjadi dalam praktek sehari-hari.
        Saya mengetengahkan paradoks ini bukan untuk “diselesaikan” dengan cara sim-salabim dan sekali pukul dengan tongkat Musa. Saya tak percaya paradoks ini bisa diselesaikan dengan mudah. Bahkan agama pun tak bisa menyelesaikan paradoks ini dengan mudah. Saya mengetengahkan paradoks ini hanya untuk membuka mata kita pada aspek-aspek kehidupan modern yang tak mudah untuk diringkus dalam satu-dua jenis solusi, dengan satu bentuk justifikasi. 
Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Dua Keinginan


Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam legam, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman -- berhati-hati tidak menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan, "Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!"
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah kepadaku."
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang memuakkan."
Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir, cantik bagai
pagi hari, untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian."
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian Maut mengambil tangan orang itu, mencabut kehidupannya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku."
"Aku telah memanggilmu berulang kali, namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu."
(dari "Kelopak-Kelopak Jiwa" - Gibran Khalil Gibran)

Senin, 01 Agustus 2011

Quote of The Day : Buku

Quote of The Day : Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu : kita hanyalah penafsir tanda-tanda, dimana kebenaran menerakan jejakknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah "Bacalah". (Gunawan Muhammad)

Tuhan Tidak Perlu Dibela

            Sarjana X baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke tanah air. Delapan tahun ia tinggal di Negara yang tidak ada orang muslimnya sama sekali. Di sana juga tak satu pun media massa Islam mampu mencapainya. Jadi pantas sekali X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di mana ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim : dalam Khotbah Jumat yang didengarnya seminggu sekali dan juga dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da’i.
                Terakhir dia mengikuti  sebuah lokakarya. Lokakarya itu diikutinya dengan bingung lantaran uraian seorang ilmuwan eksakta tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan teori ilmu pengetahuan menurut Islam sebagai alternatif.
                Bukan penampilan alternatif itu sendiri yang merisaukan sarjana yang baru pulang itu, melainkan kepahitan pada wawasan ilmu pengetahuan modern yang terasa disana. Juga idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa batasnya bagi ilmuwan yang berbicara itu.
                Semakin jauh X merambah “rimba kemarahan’ kaum muslim, semakin luas dilihatnya wilayah yang dipersengketakan antara wawasan ideal  kaum muslimin dan tuntutan modernisasi. Dilihatnya wajah berang dimana-mana : di arsip proses pelarangan atas cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung. Dalam desah nafas putus asa dari seorang aktivis organisasi Islam ketika X tetap saja tidak mau  tunduk pada keharusan menempatkan ‘merk Islam’ pada kedudukan tertinggi atas semua aspek kehidupan. X bahkan melihat wajah kemarahan itu dalam serangan yang tak kunjung habis terhadap ‘informasi salah’ yang ditakuti dan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis ekspresi diri, dari soal berpakaian hingga tari jaipongan.
                Walaupun gelar doctor diperolehnya dalam salah satu cabang dislipin ilmu-ilmu social, X masih dihadapkan pada kepusingan memberikan penilaian atas keadaan itu. Ia mampu memahami sebab-sebab munculnya gejala ‘merasa terancam selalu’ yang demikian itu. Ia mampu menerangkan dari sudut pandang ilmiah, namun ia tidak mampu menjawab bagaimana kaum muslimin sendiri menyelesaikan masalah itu. Sebab, menurut pemahamannya, gejala”keberangan” itu menyangkut aspek ajaran agama yang palig inti. Di luar kompetensinya, keluhnya dalam hati.
                Oleh karena itu diputuskan untuk pulang ke kampong asal, menemui pamannya yang menjadi kiai pesantren. Jagoan ilmi fiqh ini disegani karena pengakuan ulama lain atas ketetapan keputusan agama yang dikeluarkannya. Si ‘paman kiai’ juga merupakan perwujudan dari kesempurnaan erilaku beragama di mata orang banyak.
                Apa jawab yang diperoleh X ketika mengajukan ‘kemuskilan’ yang dihadapinya itu? “Kau sendiri yang tidak tabah, nak. Kau harus tahu semua sikap yang kau anggap kemarahan itu adalah pelaksanaan tugas amar ma’ruf nahi munkar,” ujar sang paman dengan kelembutan yang mematikan. “Seharusnya kau pun bersikap begitu, jangan lalu menyalahkan mereka.”
                Terdiam tidak dapat menjawab, X tetap tidak mmenemukan apa yang dicarinya. Orang muda ini lalu kembali ke ibukota, mencari seorang muslim cendekiawan kelas kakap, siapa tahu bias memberikan jawaban yang memuaskan hati. Dicari yang moderat, yang dianggap mampu menjembatani antara formalism agama dan tantangan dunia modern kepada agama.
                Ternyata dia lagi-lagi kecewa. “Sebenarnya kita harus bersyukur mereka masih mengemukakan gagasan alternative parsial sehingga Islam sendiri tidak dihadapkan sebagai alternative ideologis terhadap tatanan yang ada!” demikian jawaban yang diperolehnya. Dia tidak mampu mengerti mengapa kemarahan seperti itu masih lebih baik dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
                Orang muda yang satu ini tercenung tanpa mampu merumuskan apa yang seharusnya ia pikirkan. Haruskah pola pikirnya dirubah secara mendasar, mengikuti keberangan itu sendiri.
                Akhirnya, ia diajak seorang kawan seprofesi untuk menemui seorang guru tarekat. Dan disitulah ia memperoleh kepuasan. Jawabannya ternyata sederhana saja. “Allah itu maha besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaranNya. Ia maha besar karena Ia ada, apa pun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya atas kekuasaan-Nya.
              “Al-Hujwiri mengatakan : Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau sudah emnjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang didapatkannya.”
              Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu “dilayani”. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang ‘positif konstruktif’. Kalau gawat, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.
          Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan pada serangan orang. Kebenaran Allah tidak berkurang sedikitpun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.
(Tulisan Gus Dur di majalah Tempo 26 Juni 1982)

love network

love network
love for all