Pages

Senin, 01 Agustus 2011

Tuhan Tidak Perlu Dibela

            Sarjana X baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke tanah air. Delapan tahun ia tinggal di Negara yang tidak ada orang muslimnya sama sekali. Di sana juga tak satu pun media massa Islam mampu mencapainya. Jadi pantas sekali X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di mana ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim : dalam Khotbah Jumat yang didengarnya seminggu sekali dan juga dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da’i.
                Terakhir dia mengikuti  sebuah lokakarya. Lokakarya itu diikutinya dengan bingung lantaran uraian seorang ilmuwan eksakta tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan teori ilmu pengetahuan menurut Islam sebagai alternatif.
                Bukan penampilan alternatif itu sendiri yang merisaukan sarjana yang baru pulang itu, melainkan kepahitan pada wawasan ilmu pengetahuan modern yang terasa disana. Juga idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa batasnya bagi ilmuwan yang berbicara itu.
                Semakin jauh X merambah “rimba kemarahan’ kaum muslim, semakin luas dilihatnya wilayah yang dipersengketakan antara wawasan ideal  kaum muslimin dan tuntutan modernisasi. Dilihatnya wajah berang dimana-mana : di arsip proses pelarangan atas cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung. Dalam desah nafas putus asa dari seorang aktivis organisasi Islam ketika X tetap saja tidak mau  tunduk pada keharusan menempatkan ‘merk Islam’ pada kedudukan tertinggi atas semua aspek kehidupan. X bahkan melihat wajah kemarahan itu dalam serangan yang tak kunjung habis terhadap ‘informasi salah’ yang ditakuti dan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis ekspresi diri, dari soal berpakaian hingga tari jaipongan.
                Walaupun gelar doctor diperolehnya dalam salah satu cabang dislipin ilmu-ilmu social, X masih dihadapkan pada kepusingan memberikan penilaian atas keadaan itu. Ia mampu memahami sebab-sebab munculnya gejala ‘merasa terancam selalu’ yang demikian itu. Ia mampu menerangkan dari sudut pandang ilmiah, namun ia tidak mampu menjawab bagaimana kaum muslimin sendiri menyelesaikan masalah itu. Sebab, menurut pemahamannya, gejala”keberangan” itu menyangkut aspek ajaran agama yang palig inti. Di luar kompetensinya, keluhnya dalam hati.
                Oleh karena itu diputuskan untuk pulang ke kampong asal, menemui pamannya yang menjadi kiai pesantren. Jagoan ilmi fiqh ini disegani karena pengakuan ulama lain atas ketetapan keputusan agama yang dikeluarkannya. Si ‘paman kiai’ juga merupakan perwujudan dari kesempurnaan erilaku beragama di mata orang banyak.
                Apa jawab yang diperoleh X ketika mengajukan ‘kemuskilan’ yang dihadapinya itu? “Kau sendiri yang tidak tabah, nak. Kau harus tahu semua sikap yang kau anggap kemarahan itu adalah pelaksanaan tugas amar ma’ruf nahi munkar,” ujar sang paman dengan kelembutan yang mematikan. “Seharusnya kau pun bersikap begitu, jangan lalu menyalahkan mereka.”
                Terdiam tidak dapat menjawab, X tetap tidak mmenemukan apa yang dicarinya. Orang muda ini lalu kembali ke ibukota, mencari seorang muslim cendekiawan kelas kakap, siapa tahu bias memberikan jawaban yang memuaskan hati. Dicari yang moderat, yang dianggap mampu menjembatani antara formalism agama dan tantangan dunia modern kepada agama.
                Ternyata dia lagi-lagi kecewa. “Sebenarnya kita harus bersyukur mereka masih mengemukakan gagasan alternative parsial sehingga Islam sendiri tidak dihadapkan sebagai alternative ideologis terhadap tatanan yang ada!” demikian jawaban yang diperolehnya. Dia tidak mampu mengerti mengapa kemarahan seperti itu masih lebih baik dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
                Orang muda yang satu ini tercenung tanpa mampu merumuskan apa yang seharusnya ia pikirkan. Haruskah pola pikirnya dirubah secara mendasar, mengikuti keberangan itu sendiri.
                Akhirnya, ia diajak seorang kawan seprofesi untuk menemui seorang guru tarekat. Dan disitulah ia memperoleh kepuasan. Jawabannya ternyata sederhana saja. “Allah itu maha besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaranNya. Ia maha besar karena Ia ada, apa pun yang diperbuat orang atas diriNya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya atas kekuasaan-Nya.
              “Al-Hujwiri mengatakan : Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau sudah emnjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau “ia menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang didapatkannya.”
              Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu “dilayani”. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang ‘positif konstruktif’. Kalau gawat, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.
          Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan pada serangan orang. Kebenaran Allah tidak berkurang sedikitpun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.
(Tulisan Gus Dur di majalah Tempo 26 Juni 1982)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

love network

love network
love for all