Senin, 31 Januari 2011
Pemimpin Yang Ikhlas
Quote of The Day : komunitas yang adil dan penuh kasih sayang hanya bisa dibangun dengan pemimpin yang pengikuit yang ikhlas.
Muslim ekstrem
Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal, ngamukan, berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam. Mosok Islam ndak ekstrem.
Yang bahaya dan ditakuti oleh penguasa bumi ini bukan Kaum Muslimin atau Ummat Islam. Yang kuat dan hebat juga bukan Ummat Islam. Tidak ada yang perlu ditakuti dari Ummat Islam. Biarpun Israel hanya sekabupaten yang bertetangga dengan sepropinsi negara-negara Islam, si kabupaten bisa berbuat apa saja.
Jangankan sekedar mengurung Yasser Arafat di dalam metoda Khondaq, jangankansekedar mengancam dan mengebom Masjidil Aqsha, sedangkan kalaupun Ka’bah di Mekah dan Masjid Nabawi diduduki oleh kumpulan pasukan-pasukan penguasa dunia – akan tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Ummat Islam. Ummat Islam di timur tengah hidup dalam negara-negara suku yang secara ideologis dan sosiologis menyalahi prinsip universalisme-plural (rahmatan lil’alamin) yang merupakan inti ajaran Rasulullah Muhammad saaw. Ada kerajaan suku Arab Saudi, kerajaan suku Yordan, Kuwait, dlsb.
Para khotib Jum’at selalu menyatakan rasa syukur “Kita panjatkan puja dan puji kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw, yang telah membawa kita dari alam jahiliah menuju alam nur yang terang benderang…” Kalimat itu belum selesai, karena di ekornya masih ada anak kalimat “….kemudian sesudah Muhammad tiada, kita kembali ke dunia jahiliah….”
Ummat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia juga terbagi dalam berbagai suku dengan fanatisme, kebanggaan dan egosentrismenya masing-masing. Ada suku NU, suku Muhammadiyah, suku darul Arqam, suku PKB dan sub-sukunya, suku PPP dan sub-sukunya, suku PBB, PK dan banyak lagi. Firman Allah “syu’ub wa qaba-il” itu bukan hanya bermakna genekologis atau antropologis – tetapi juga melebar ke berbagai segmentasi sosial yang jumlahnya tak terbilang. Bahkan di dalam suku-suku Ummat Islam terdapat pula sub-suku Yahudi, Nasrani, Sekuler, Kebatinan dan macam-macam lagi – sekurang-kurangnya dalam cara pandang dan pola sikap kesejarahannya.
Sungguh mengasyikkan isi dunia ini, dan Ummat Islam di muka bumi seluruhnya atau khusus di Indonesia, dengan modal dasar kebanggaan suku – tidaklah akan mampu berbuat banyak kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Jika kekuatan di luar mereka memusuhinya, Ummat Islam akan kalah, dan jika kekuatan di luar dirinya itu bersahabat dengannya – Ummat Islam akan lebih kalah lagi. Dan kalau terhadap persepsi saya ini Ummat Islam marah, maka menjadi terbukti bahwa ternyata keadaan mental dan budaya Ummat Islam jauh lebih parah dibanding yang tergambar dalam uraian ini.
Yang ditakuti oleh dunia, sekali lagi, bukanlah Ummat Islam, melainkan kebenaran nilai-nilai Islam. Oleh karena itu nanti zaman demi zaman akan berlalu, dan jika Ummat Islam dimusuhi, lantas mereka ada yang melawan, ada yang tidak melawan dan bahkan banyak yang justru menjadi alat untuk memusuhi Islam sendiri meskipun si alat ini naik haji 19 kali dan dikenal sebagai tokoh Islam – maka para penguasa dunia itu tidak akan bisa dikalahkan oleh Ummat Islam, melainkan akan dieliminir dan ditaklukkan secara ridho oleh nilai-nilai Islam sendiri yang tumbuh diam-diam dari dalam diri mereka sendiri.
Anda tidak perlu percaya pada kata-kata saya ini tetapi juga sebaiknya tak usah tidak percaya, daripada kelak Anda mundur isin untuk mengakuinya. Sebagaimana kepada surga dan neraka Anda tidak saya tuntut untuk percaya, tetapi sebaiknya juga tak usah repot-repot tak percaya – supaya kelak kalau ada surga beneran Anda tidak malu-malu kucing untuk mendaftar masuk ke dalamnya.
Sekarang para penguasa dunia silakan berbuat semaunya kepada Ummat Islam. Ummat Islam bisa dibunuh, ditembaki, dimusnahkan dengan tidak terlalu sukar karena dari segala segi maintenance peperangan, Ummat Islam kalah mutlak. Tetapi yang tak bisa diapa-apakan adalah nilai Islam. Sebab kandungan nilai Islam tidak bisa ditembak atau dibom. Nilai Islam terletak di lubuk hati setiap orang yang memusuhinya.
Jadi kalau, umpamanya, Anda ingin menangkap saya, memenjarakan saya, membunuh saya, memberangus pekerjaan sosial saya, mengucilkan saya, menghancurkan eksistensi saya, membuang saya, membakar nama saya, menginjak-injak harga diri saya, menendang kepala saya, bahkan melabuh abu bakaran mayat saya di pantai selatan – sedikit pun Anda tidak akan mendapatkan kesulitan. Sebab saya sangat lemah. Tetapi yang tidak akan terbunuh adalah keyakinan yang saya jalani, sebab keyakinan itu juga berdomisili di dalam diri Anda sendiri.
Nilai Islam sangat ditakuti eksistensinya oleh para penguasa dunia, tetapi Ummat Islam atau Kaum Muslimin amat diperlukan oleh mereka. Para penguasa dunia sangat membutuhkan Ummat Islam, tidak akan membiarkan Ummat Islam kelaparan, tidak membiarkan Ummat Islam kehilangan tokoh serta penampilan formalnya. NU, Muhammadiyah, MUI atau apa saja, harus terus ada, jangan sampai tidak ada.
Kalau Ummat Islam sampai mengalami busung lapar dan musnah, itu akan merugikan para penguasa dunia, karena dengan demikian mereka tidak punya partner untuk menjalankan dialektika kekuasaan. Ummat Islam harus tetap eksis di muka bumi, sebab penguasa dunia membutuhkan budak dan orang-orang jajahan. Budak jangan sampai ndak makan dan loyo, sebab kalau loyo ndak bisa diperintah-perintah. Kalau kelaparan tidak enak ditempelengi.
Ummat Islam dibutuhkan keberadaannya oleh penguasa dunia, dan manfaat keberadaan Ummat Islam adalah untuk proses penghancuran dan pelenyapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Ummat Islam dipelihara, digurui, diajari, dididik untuk memiliki cara berpikir, cara bersikap dan cara hidup yang menghancurkan nilai-nilai Islam. Dan itu gampang dilaksanakan: kiai-kiai, ulama-ulama, cendekiawan muslim, mahasiswa islam, jurnalis, budayawan seniman, warga ormas keislaman, anak-anak muda Islam dll – sangat gampang digiring menjadi pegawai penghancur nilai-nilai Islam.
Ummat Islam harus dipelihara keberadaannya, sebab mereka yang sangat efektif untuk mempermalukan nilai-nilai Islam. Kalau ada kelompok Muslimin yang membangun kesejukan, kebersamaan, demokratisasi, egaliterisasi, defeodalisasi, menegakkan cinta kasih social – jangan diberi ruang di pemberitaan media massa dan peta opinion making – sebab mereka ini kontra-produktif untuk proses mempermalukan nilai-nilai Islam.
Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal, ngamukan, berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang. Rumus baku di kampus, media massa dan internet adalah “Islam harus ekstrem”. Mosok Islam ndak ekstrem. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam.
Untuk menciptakan muslim ekstrem, maka harus dilaksanakan sejumlah kecurangan opini dan ketidakadilan di bidang-bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan. Kalau orang disakiti terus-menerus, pasti lama-lama ia akan menjadi keras dan gampang dipancing untuk mengamuk. Di setiap segmen social, di tempat kerja, di lingkungan birokrasi, di kampus, di kampung dan di mana pun saja – harus terus-menerus diciptakan pencitraan bahwa orang Islam itu suka menindas. Orang Islam itu mayoritas yang kejam. Meskipun kalangan Islam yang ditindas tapi opini yang dibangun harus sebaliknya.
Kalau ternyata dipancing-pancing dan dijelek-jelekkan kok orang-orang Islam itu masih saja bersabar, bersikap lembut dan merangkulkan kemesraan pluralisme – maka harus pada momentum-momentum yang berkala dan berirama harus diciptakan skenario seakan-akan ada tokoh ekstremis teroris – umpamanya Abu Bakar Baasyir — yang diupayakan untuk dihardik terus-menerus di media massa , dicari-carikan pasal untuk menangkap dan menghukumnya.
oleh : Emha Ainun Najib
sumber : http://rusdimathari.wordpress.com/2008/03/05/islam%E2%80%A6ya-harus-ekstrem/
Menanam Bunga Perhatian
Dalam sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu Teresa pernah memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan dipanti jompo ini tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang tinggal disini, ketika duduk di ruangan untuk menonton tv, bukannya memandang TV, hampir semua mata menatap pintu masuk.
Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka perhatian. Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di pintu masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan satu persatu. Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap sore orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya sambil memandangi jalan. Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah. Rupanya, mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini, setangkai bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.
Yang jelas, siapapun Anda dan dimanapun Anda berada, tua muda, di kota maupun di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak orang yang amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain. Tidak sedikit orang, hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal, bunga terakhir berharga tidak mahal. Bahkan, kita tidak membelinya. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai tameng ketidakmampuan dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial antara atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang
di puncak dengan orang di bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, atau koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian bukti yang bisa membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan pemimpin yang kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.
Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari masyarakat dan keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk menjadi manusia yang miskin perhatian juga. Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah, atau organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka
kapan bisa terbentuk barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?. Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis: 'We must remember that love begins at home, and we must also remember that the future of humanity passes through the family.'
Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di rumah Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari rumah, sebab masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.
Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab, semenjak merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan penulis, sering kali meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang Jumat malam. Kendati setiap hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri beberapa menit, bercanda dengan anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu yang kurang. Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala saya juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali saya sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir agar diajak ikut menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan berdosa dalam diri ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam keluarga yang amat saya cintai ini?
Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan jam sehari. Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan kuantitas hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi. Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya, setiap anak mendambakan papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan layang-layang yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka jaga. Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan. Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang, serta bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan menjawab semua keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan memenuhi keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya penuhi. Serangkaian kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian tumbuh di mana-mana di rumah.
Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya naik sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang suami yang menggandeng isterinya dengan penuh kemesraan. Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiaka sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh manusia-manusia yang saling memperhatikan?
Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka perhatian. Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di pintu masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan satu persatu. Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap sore orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya sambil memandangi jalan. Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah. Rupanya, mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini, setangkai bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.
Yang jelas, siapapun Anda dan dimanapun Anda berada, tua muda, di kota maupun di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak orang yang amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain. Tidak sedikit orang, hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal, bunga terakhir berharga tidak mahal. Bahkan, kita tidak membelinya. Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai tameng ketidakmampuan dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial antara atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang
di puncak dengan orang di bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, atau koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian bukti yang bisa membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan pemimpin yang kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.
Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari masyarakat dan keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk menjadi manusia yang miskin perhatian juga. Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah, atau organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka
kapan bisa terbentuk barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?. Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis: 'We must remember that love begins at home, and we must also remember that the future of humanity passes through the family.'
Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di rumah Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari rumah, sebab masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.
Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab, semenjak merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan penulis, sering kali meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang Jumat malam. Kendati setiap hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri beberapa menit, bercanda dengan anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu yang kurang. Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala saya juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali saya sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir agar diajak ikut menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan berdosa dalam diri ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam keluarga yang amat saya cintai ini?
Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan jam sehari. Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan kuantitas hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi. Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya, setiap anak mendambakan papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan layang-layang yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka jaga. Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan. Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang, serta bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan menjawab semua keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan memenuhi keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya penuhi. Serangkaian kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian tumbuh di mana-mana di rumah.
Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya naik sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang suami yang menggandeng isterinya dengan penuh kemesraan. Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiaka sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh manusia-manusia yang saling memperhatikan?
Perjalanan sebutir Debu
Dulu kau hanya debu, lalu menjelma menjadi makanan, sesuap di mulut ayahmu, sesuap di mulut ibumu, partikel dalam rahim ibumu, partikel dalam kandung mani ayahmu, ayah dan ibumu menikah, partikel itu dan partikel ini menyatu, lalu menjelma engkau dalam rahim ibumu, seperti telur dalam rahim ayam, dengan kehangatan tubuh ibumu, darahnya beredar di sekujur tubuhmu, kau terwujud, kau terbentuk bagai ayam di dalam telur, dalam eraman induknya sembilan bulan, sembilan hari, sembilan jam berlalu, ibumu merasakan kesakitan, kau retakkan dinding telur, kau menyembul, kau jatuh dalam buaian, matamu tidak dapat dapat melihat, telingamu tidak dapat mendengar, kakimu tidak mampu menyangga tubuhmu, tanganmu tidak dapat menggapai sesuatu, pikiranmu tidak dapat bekerja, kau tidak dapat memahami apapun, kau tidak mengenal siapapun, kau hanya tahu tiga hal ini :
Menyusu..., mengompol..., menangis...,
Seratus tahun kemudian, matamu tidak dapat melihat, telingamu tidak dapat mendengar, kakimu tidak dapat berjalan, pikiranmu tidak bekerja, kau tidak memahami apapun, kau tidak mengenal siapapun, kau tergolek di tempat tidur, kau hanya tahu bagaimana melakukan tiga hal ;
....! ....! ....!
Tiba-tiba kau mati, kau tenggelam dalam rahim bumi,
sekali lagi, kau menjelma debu, tiada apapun tersisa darimu,
kecuali bahwa kau tetap ada!
Manusia beredar seperti bumi, waktu, musim semi, seperti setiap sesuatu air, bunga, pohon,mentari, galaksi, semesta, yang berputar,
Kau bukan apa-apa, kau hanya debu, kau beredar, kau tidak menjadi apa-apa, kau hanya menjadi debu, apa yang tertinggal darimu?
Yang tertinggal hanyalah kesalehan yang kau kerjakan, yang tertinggal adalah setiap kebaikan yang kau kerjakan (untuk manusia).
“sebentuk Ka’bah : para peziarah mengelilingiya dari batu hitam ke batu hitam,
Lahirlah kehidupan tetumbuhan, dari lumut hingga beringin.
Dan hewan, dari mikroba hingga gajah,
Akhirnya manusia”
Ali Syari’ati (1933-1977)
Nasehat Ali bib Abi Thalib ra
Orang yang sibuk mencari ilmu dia mencari jalan ke surga,
Dan orang yang sibuk berbuat maksiat, dia mencari jalan ke neraka.
Jadilah kamu sebaik – baiknya manusia di hadapan Allah,
Dan anggaplah kamu sejelek-jelekn manusia menurut dirimu sendiri,
Dan jadilah kamu orang yang bermanfaat di tengah-tengah masyarakat.
Ada tiga hal yang meningkatkan hafalan dan menyehatkan badan,
Yaitu menggosok gigi, berpuasa, dan membaca Al-Qur’an
Ada empat amal kebaikan yang sulit dilakukan, yaitu
Memberi maaf ketika sedang marah,
Bersedekah ketika sedang ditimpa kesulitan,
Menjaga perbuatan tercela ketika sedang menyendiri,
Dan menegakkan kebenaran di hadapan orang yang ditakuti.
Tidak disebut shalat yang baik tanpa kekusyukan.
Tidak disebut puasa yang baik tanpa disertai menahan diri.
Tidak disebut membaca Qur’an yang baik tanpa memperhatikan isinya.
Tidak disebut berilmu yang baik tanpa disertai sikap hati-hati.
Tidak disebut berharta yang baik tanpa disertai kedermawanan.
Tidak disebut bersaudara yang baik tanpa disertai silaturahmi.
Tidak disebut nikmat yang baik tanpa dilestarikan.
Tidak disebut doa yang baik tanpa disertai keikhlasan.
Jangan sekali-kali kamu merasa malu memberi walau sedikit,
Karena tidak memberi sama sekali pasti lebih sdikit nilainya
Bersahabatlah dengan orang-orang yang yang selalu berbuat baik,
Pasti engkau menjadi salah seorang dari mereka.
Jauhilah orang-orang yang berbuat jahat,
Pasti engkau terhindar dari kejahatan mereka.
Perlakukan sahabatmu seperti perlakuanmu terhadap keluargamu
Jika kalian ditanya sesuatu yang tidak kalian ketahui,
Janganlah malu untuk menjawab “aku tidak tahu”
Jadilah kalian seorang dermawan,
Tapi jangan jadi pemboros.
Janganlah kalian malu untuk mempelajari
Sesuatu yang memang belum kalian ketahui.
Ilmu lebih baik daripada harta.
Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta harus kamu jaga.
Memperkosa Surti
Tak terhitung sudah berapa banyak kendaraan berlalu melewati jembatan itu. Pemuda kurus itu terus saja menatap jalanan, begitu tenang dan hening. Kopi hangat yang sudah berjam-jam lalu dipesannya pun seakan tak pernah diliriknya, walaupun aku tahu kopi itu pun tak lagi dapat disebut hangat.
Tak biasa aku melihat pemuda itu datang sendiri, sejak pertama kali aku membuka lapak di trotoar jembatan ini untuk mempertahankan kehormatanku sebagai seorang lelaki. Aku tetap harus berjualan, walaupun kata sebagian orang – orang berdasi itu berjualan di trotoar seperti aku dan puluhan orang lainnya yang bernasib sama sepertiku adalah merusak keindahan kota. Namun, aku berani beradu pendapat tentang masalah ini. Berjualan di pinggir jembatan yang masih baru dan sepi kendaraan sama sekali tidak merusak keindahan kota, melainkan mampu menghidupkan suasana dan mencegah begal-begal jalanan beraksi.
Tapi tak pentinglah jalan hidupku yang cukup rumit dan membosankan ini. Aku lebih tertarik dengan pemuda kurus yang telah lama menjadi langgananku tanpa aku tahu namanya itu. Malam ini tidak terlalu ramai seperti biasanya. Entah kenapa sorot matanya membuatku penasaran, dia nampak begitu marah, dendam, namun juga terlihat sekali sedang menahan tangis.
Yang kuingat lima hari yang lalu dia datang ke lapakku bersama teman wanitanya seperti biasa. Usia mereka kurang lebih sama. Tak ada sesuatu yang menarik awalnya, mereka hanya memesan satu gelas kopi hangat dan sepiring mie rebus instan. Persis yang aku lakukan bersama Surti dulu. Dulu sekalii..
Teringat sekali aku akan pertemuan kami yang terahir kali di bekas gardu desa yang tak lagi terpakai. Tempat biasa kami meneguk racun asmara tanpa belas kasih berdua. Dimana tak lagi kami peduli dengan apa yang orang tua biasa menyebutnya dengan ‘dosa’. Tapi kala itu sangat berbeda. Walaupun suasanya benar-benar sama, namun tak ada lagi percumbuan diantara aku dan Surti. Wanita gemuk tapi manis itu nampak begitu lain, begitu dingin. Pagutan-pagutan yang terasa di bibir ini juga terasa tidak seperti biasanya, seluruh lenggak-lenggok tubuh dan desahan nafasnya seolah-olah ingin menggambarkan kepedihan dan penyesalan.
“Surti harap mas bisa ngerti keputusan Surti mas.”
“Tapi kenapaaa!!! Bajingan kamu Sur!” tanpa sadar terlepas saja kata-kata itu. Seketika aku berharap menjadi bisu agar kalimat itu tak pernah terucap.
Dan memang benar, itulah kalimat terakhir yang kuucapkan pada Surti. Dengan penuh amarah, kujual tanah warisan ibuku kepada makelar tanah yang lebih bajingan dari siapapun. Bahkan surti. Aku tahu bajingan itu sedang tertawa terbahak-bahak karena berhasil mendapatkan tanah yang selama ini mereka inginkan dengan harga murah. Bahkan tanah itu kujual dengan harga yang lebih murah dari yang mereka tawarkan sebelumnya.
Dan beginilah keadanku sekarang,menjadi salah satu dari ratusan orang desa yang mencari peruntungan di kota terbesar kedua di negeri ini. Di kota yang sama sekali belum pernah aku injak sebelumnya ini aku bertarung melawan nasib dan Satpol PP, sambil terus mencoba melupakan hadiah terindah yang pernah Surti berikan padaku dulu, kegadisannya.
Aku mendadak ingin menjadi sutradara atas hidupku sendiri. Mungkin aku bisa memutar rekaman ke masa lalu dan kuatur ulang agar lelaki mantan TKI itu tidak pernah menemui bapak Surti. Atau aku bisa memutar ulang adeganku saat di gubuk bekas gardu agar aku bisa menikmati pelukan tubuh Surti selama-lamanya. Atau mungkin jika aku benar-benar lemah dan tak bisa melakukan itu semua, ingin saja aku tidak melihat pemuda kurus ini. Setidaknya aku tidak akan pernah lagi mengungkit-ungkit kenangan ini.
Dan....
“Heh, goblok! Lariii!!!”
Kulihat seluruh teman-temanku berlari berhamburan. Dan tanpa bisa aku mencegah, seluruh syaraf di tubuhku ini menyuruhku untuk lari sekuat tenaga. Menembus pekat malam dengan membawa apa saja yang bisa kubawa. Tidak ada lagi Surti, makelar tanah bajingan, lelaki mantan TKI, tidak juga pemuda kurus itu. Semua telah hancur, atau lebih tepatnya dihancurkan oleh kesombongan bapak-bapak Satpol PP yang dengan gagah telah memperkosa sisa-sisa kehormatanku.
Irul
Madiun, #home 31/01/11 09:18 PM
Kamis, 27 Januari 2011
Batman Dan Mbah Gendeng
“Huh, siyal, masa’ bocor lagi sih”, ujar Batman gemas sambil menendang pintu BatMobile-nya perlahan. Meskipun kesal, ia masih cukup sadar untuk tidak melampiaskannya kepada kendaraan tercintanya, yang cicilannya belum lunas itu. Dengan susah payah, ia mendorong mobilnya ke pinggir, ke sebuah tambal ban yang kebetulan berada tidak jauh dari situ.
“Mbah Gendeng – Nambal Ban Sejak 1911”
Begitu tulisan yang tertera di atas “bengkel” kecil yang didirikan seadanya di bawah sebuah pohon beringin besar.
“Bannya bocor ya, nak?”, tanya seorang kakek tua yang tiba-tiba muncul dari balik pohon.
“Iya, mbah”, jawab Batman lesu, “sudah kedua kalinya nih. Padahal baru sekitar 5km lalu bocor dan ditambal.”
“Hmmm…”, mbah Gendeng mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai mempersiapkan peralatannya. Bak air sabun untuk memeriksa bagian ban yang bocor, dongkrak, pompa angin, dan sebagainya. “Silahkan duduk dulu aja di kursi kayu itu, nak. Biar mbah kerjakan dulu bannya.”
45 menit berlalu, Batman mulai gak sabar. Maklum, ia lagi semangat-semangatnya untuk bangkit kembali dari keterpurukannya dan ingin segera sampai ke WTC untuk membuka gerai HP. Ditambah lagi, seekor kura-kura berseragam “Bukan Express” yang tadi disalipnya kini sudah berjalan melewati tempat ia duduk. “Masa’ Batman kalah cepet ama kura-kura”, pikir Batman dalam hati. Penasaran, ia mendekati Mbah Gendeng dan mengintip kerjanya.
“Pantesan aja lama!”, sergah Batman kasar. “Lha wong kerjanya lambat banget gini! Apa gak bisa lebih cepet lagi, mbah?!”
Mbah Gendeng meletakkan ban dalam BatMobile yang sedang ia pegang dan menoleh ke arah Batman. Tatapannya yang tajam membuat Batman secara tidak sadar mundur selangkah ke belakang. Tanpa disangka, dengan tidak kalah kerasnya, Mbah Gendeng balik bertanya, “Memangnya kamu pikir pekerjaan ini tidak penting sehingga harus dikerjakan dengan terburu-buru?”
“Memang begitu, kan? Cuman nambal ban ini, apa pentingnya? Jauh lebih penting pekerjaanku yang ke sana kemari buat nyelamatin dunia dari orang jahat! Mbah tahu kan kalo aku ini Batman?!”
“Iye, terus so what gitu loh, mau situ Superman kek, Batman kek, Barack Obama kek, SBY kek, tetep aja, jangan pernah ngeremehin pekerjaan saya!”
Batman sudah akan membuka mulutnya lagi untuk menjawab, namun kakek tua itu tidak mau kalah cepat dan melanjutkan kata-katanya.
“Dengarkan baik-baik, anak muda. Coba pikir. Seandainya tadi kamu dalam perjalanan untuk menyelamatkan ribuan orang dan banmu bocor, apa bukan berarti yang saya kerjakan ini tidak sama pentingnya dengan pekerjaanmu? Dengan memperbaiki ban bocormu dengan baik dan teliti, secara tidak langsung saya suda membantu kamu menyelamatkan mereka — ribuan orang itu.”
“Tidak usah muluk-muluk. Setiap ban bocor yang saya perbaiki pasti berhasil membawa pengemudinya tiba dengan selamat sampai di rumah. Coba bayangkan apabila saya melakukannya dengan asal-asalan. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bukan?”
“Lihat ban dalammu ini”, Mbah Gendeng menyodorkan dua buah ban dalam BatMobile yang sedang ia kerjakan. “Perhatikan ini, bekas tambalan yang dilakukan oleh penambal ban sebelumnya. Kasar dan kurang kuat rekatannya. Itu sebabnya tadi ban mobilmu bocor lagi. Masih untung tidak terjadi apa-apa. Dan ini, yang ada di kanan, adalah hasil tambalan ban yang aku lakukan. Bandingkan!”
Batman tercenung. Ia memperhatikan ban dalam pada bagian yang ditunjukkan oleh Mbah Gendeng dan ternyata memang benar, pekerjaannya kurang baik. Bahkan jauh dibandingkan hasil pekerjaan Mbah Gendeng. Padahal tadi ia cukup senang dan memberi tips lebih kepada penambal ban sebelumnya karena kerjanya hanya butuh waktu 5 menit saja.
Dengan menunduk, Batman mohon maaf kepada Mbah Gendeng dan beringsut kembali ke kursi kayu untuk menunggu. Di satu sisi, ia malu terhadap apa yang telah ia lakukan, namun di sisi lain, ia gembira karena mendapat pelajaran baru tentang hidup dan juga tentang bisnis.
“Aku pasti tidak akan kalah oleh Peter Parker”, ujar Batman dalam hati sembari tersenyum.
moral cerita/bahan renungan: "Setiap pekerjaan itu penting, jangan pernah meremehkan pekerjaan orang lain sekecil apapun itu."
sumber : http://dongengmotivasi.com/batman-dan-mbah-gendeng.htm
“Mbah Gendeng – Nambal Ban Sejak 1911”
Begitu tulisan yang tertera di atas “bengkel” kecil yang didirikan seadanya di bawah sebuah pohon beringin besar.
“Bannya bocor ya, nak?”, tanya seorang kakek tua yang tiba-tiba muncul dari balik pohon.
“Iya, mbah”, jawab Batman lesu, “sudah kedua kalinya nih. Padahal baru sekitar 5km lalu bocor dan ditambal.”
“Hmmm…”, mbah Gendeng mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai mempersiapkan peralatannya. Bak air sabun untuk memeriksa bagian ban yang bocor, dongkrak, pompa angin, dan sebagainya. “Silahkan duduk dulu aja di kursi kayu itu, nak. Biar mbah kerjakan dulu bannya.”
45 menit berlalu, Batman mulai gak sabar. Maklum, ia lagi semangat-semangatnya untuk bangkit kembali dari keterpurukannya dan ingin segera sampai ke WTC untuk membuka gerai HP. Ditambah lagi, seekor kura-kura berseragam “Bukan Express” yang tadi disalipnya kini sudah berjalan melewati tempat ia duduk. “Masa’ Batman kalah cepet ama kura-kura”, pikir Batman dalam hati. Penasaran, ia mendekati Mbah Gendeng dan mengintip kerjanya.
“Pantesan aja lama!”, sergah Batman kasar. “Lha wong kerjanya lambat banget gini! Apa gak bisa lebih cepet lagi, mbah?!”
Mbah Gendeng meletakkan ban dalam BatMobile yang sedang ia pegang dan menoleh ke arah Batman. Tatapannya yang tajam membuat Batman secara tidak sadar mundur selangkah ke belakang. Tanpa disangka, dengan tidak kalah kerasnya, Mbah Gendeng balik bertanya, “Memangnya kamu pikir pekerjaan ini tidak penting sehingga harus dikerjakan dengan terburu-buru?”
“Memang begitu, kan? Cuman nambal ban ini, apa pentingnya? Jauh lebih penting pekerjaanku yang ke sana kemari buat nyelamatin dunia dari orang jahat! Mbah tahu kan kalo aku ini Batman?!”
“Iye, terus so what gitu loh, mau situ Superman kek, Batman kek, Barack Obama kek, SBY kek, tetep aja, jangan pernah ngeremehin pekerjaan saya!”
Batman sudah akan membuka mulutnya lagi untuk menjawab, namun kakek tua itu tidak mau kalah cepat dan melanjutkan kata-katanya.
“Dengarkan baik-baik, anak muda. Coba pikir. Seandainya tadi kamu dalam perjalanan untuk menyelamatkan ribuan orang dan banmu bocor, apa bukan berarti yang saya kerjakan ini tidak sama pentingnya dengan pekerjaanmu? Dengan memperbaiki ban bocormu dengan baik dan teliti, secara tidak langsung saya suda membantu kamu menyelamatkan mereka — ribuan orang itu.”
“Tidak usah muluk-muluk. Setiap ban bocor yang saya perbaiki pasti berhasil membawa pengemudinya tiba dengan selamat sampai di rumah. Coba bayangkan apabila saya melakukannya dengan asal-asalan. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bukan?”
“Lihat ban dalammu ini”, Mbah Gendeng menyodorkan dua buah ban dalam BatMobile yang sedang ia kerjakan. “Perhatikan ini, bekas tambalan yang dilakukan oleh penambal ban sebelumnya. Kasar dan kurang kuat rekatannya. Itu sebabnya tadi ban mobilmu bocor lagi. Masih untung tidak terjadi apa-apa. Dan ini, yang ada di kanan, adalah hasil tambalan ban yang aku lakukan. Bandingkan!”
Batman tercenung. Ia memperhatikan ban dalam pada bagian yang ditunjukkan oleh Mbah Gendeng dan ternyata memang benar, pekerjaannya kurang baik. Bahkan jauh dibandingkan hasil pekerjaan Mbah Gendeng. Padahal tadi ia cukup senang dan memberi tips lebih kepada penambal ban sebelumnya karena kerjanya hanya butuh waktu 5 menit saja.
Dengan menunduk, Batman mohon maaf kepada Mbah Gendeng dan beringsut kembali ke kursi kayu untuk menunggu. Di satu sisi, ia malu terhadap apa yang telah ia lakukan, namun di sisi lain, ia gembira karena mendapat pelajaran baru tentang hidup dan juga tentang bisnis.
“Aku pasti tidak akan kalah oleh Peter Parker”, ujar Batman dalam hati sembari tersenyum.
moral cerita/bahan renungan: "Setiap pekerjaan itu penting, jangan pernah meremehkan pekerjaan orang lain sekecil apapun itu."
sumber : http://dongengmotivasi.com/batman-dan-mbah-gendeng.htm
Gus Dur Lelap Dalam KenikmatanNya
Sebuah buku tentang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang ditulis budayawan Mohamad Sobary diyakini sejumlah kalangan sebagai pertanda bahwa tokoh pluralis itu tak pernah mati, kecuali cuma raganya.
Dalam peluncuran "Jejak Guru Bangsa, Mewarisi Kearifan Gus Dur" itu, sejumlah sahabat Gus Dur angkat bicara. Pengusaha Sudhamek yang mengenal Gus Dur dari dekat mengatakan, Gus Dur tak pernah meninggalkan orang-orang yang senantiasa membutuhkan inspirasi. "Jasadnya bisa pergi, tapi spirit Gus Dur akan senantiasa mengilhami," katanya.
Rohaniwan Franz Magnis Suseno melihat Gus Dur sebagai salah satu sosok terpenting pascagenerasi empat lima. Bagi Magnis, tak ada orang yang begitu peduli pada kaum minoritas seperti Gus Dur. Keberaniannya membela kaum minoritas belum tertandingi siapapun.
Djohan Effendi, sahabat Gus Dur, mengenang kembali saat-saat penting ketika keduanya berinteraksi. Djohan bercerita kenapa Gus Dur ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hasrat Gus Dur itu, demikian Djohan, muncul setelah ada undangan dari Israel.
"Saat itu Gus Dur dan saya diundang Yitzak Rabin ke Israel. Pada waktu itu terjadi perjanjian perdamaian antara Israel dan Yordania. Kami mendengar dari pihak Israel bahwa mereka ingin sekali berdamai. Mereka bilang, hanya orang yang berperang bisa merasakan betapa berartinya suatu perdamaian. Bagi yang tak mengalami pedihnya peperangan, sulit menghayati arti damai," tutur Djohan.
Setelah mendengar suara hati dari Israel itulah, demikian Djohan bercerita, Gus Dur tergerak untuk ikut membantu terjadinya perdamaian antara Israel dan Palestina. "Tapi bagaimana bisa kita membantu kalau kita tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Di sini lah mulai timbul keinginan Gus Dur untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel," kata Djohan.
Djohan yang pernah menyunting buku "Pergolakan Pemikiran Isam, Cacatan Harian Ahmad Wahib" itu pada hakikatnya hendak menjelaskan kepada publik latar belakang yang mendasari pemikiran Gus Dur.
Gagasan Gus Dur mengenai Indonesia perlu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel mendapat kecaman keras. Bahkan Gus Dur sampai harus menerima tuduhan menyakitkan dari beberapa kalangan umat Islam sendiri. "Gus Dur antek Israel," kata sebagian di antara mereka.
Djohan juga berkisah tentang ide Gus Dur mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pelarangan Partai Komunis Indonesia, yang implikasinya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Karena ketetapan itu, anak-anak yang dilahirkan pada tahun enam puluhan ke atas harus menanggung ketidakadilan. Mereka direnggut haknya untuk mendapat pekerjaan karena orang tua mereka terlibat peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S/PKI).
Djohan yang paradigma berpikirnya selaras dengan Gus Dur itu juga bercerita tentang satu momen ketika dia dan Gus Dur jadi pembicara di sebuah seminar di Palembang yang berlangsung pada hari Jumat. Ketika waktu sembahyang Jumat tiba, panitia seminar bertanya: "Pak Djohan hendak shalat di mana?" Karena merasa sebagai musyafir, Djohan memilih tidak sembahyang Jumat. Tapi yang diucapkan Djohan pada penanya bukannya: "Saya musyafir". Tapi, "Saya ikut Gus Dur," ucap Djohan.
Kang Sobary mengatakan bahwa hubungannya dengan Gus Dur terlampau dekat. Meskipun dalam buku itu banyak cerita yang mengharumkan Gus Dur tapi buku itu tak sampai terjebak pada upaya memitoskannya. "Mitos tak mungkin lahir dari kedekatan seperti itu," tuturnya.
Peluncuran buku yang dipandu Najwa Shihab itu tentunya akan lebih bergemuruh seandainya ada pembicara yang menjadi musuh Gus Dur, setidaknya musuh ideologis. Soal ini, oleh Romo Magnis, dianggap tak begitu bermasalah.
"Gus Dur biasa menerima pujian dan kritik atau kecaman. Jadi tidak apa-apa kalau musuh Gus Dur diberi kesempatan bicara," kata filosof dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu.
Sobary berpendapat lain. Andai musuh Gus Dur didatangkan saat itu, pastilah orang itu akan dihabisi dalam forum. "Kasihan juga dia," katanya.
Bagi Sobary, Gus Dur adalah orang yang mau memberikan segalanya untuk siapapun yang memintanya. Ketika menjadi presiden, Gus Dur tak pernah menolak permintaan tamu-tamunya. "Ada yang minta ketemu malam hari, dilayaninya. Ini bedanya dengan presiden lainnya. Gus Dur bukan orang modern yang suka menjadwal waktu kerjanya."
Ada cerita dari orang dekat Gus Dur. Ini cerita di saat-saat Gus Dur jatuh sakit. Seorang sahabat begitu iba melihat Gus Dur terkulai di tempat tidur. Timbullah usul buat Gus Dur. Sahabat itu pun berkata: "Gus, sampeyan ini kan sering memberikan obat mujarab pada orang-orang yang sakit. Hanya dengan segelas air putih yang sampeyan beri doa-doa, mereka sembuh. Doa sampeyan untuk orang-orang itu terkabul. Kenapa sampeyan tidak berdoa minta kesembuhan pada Allah untuk sampeyan sendiri?"
Gus Dur konon tak segera menjawab. Lalu katanya: "Saya ini malu pada Allah. Saya tak mau minta-minta padanya. Allah sedang memberi saya nikmat yang luar biasa. Yang saya rasakan sekarang ini adalah nikmat. Apa lagi yang perlu saya minta dari Nya?"
Gus Dur lalu lelap--dalam kenikmatanNya. (M020/K004)
Dalam peluncuran "Jejak Guru Bangsa, Mewarisi Kearifan Gus Dur" itu, sejumlah sahabat Gus Dur angkat bicara. Pengusaha Sudhamek yang mengenal Gus Dur dari dekat mengatakan, Gus Dur tak pernah meninggalkan orang-orang yang senantiasa membutuhkan inspirasi. "Jasadnya bisa pergi, tapi spirit Gus Dur akan senantiasa mengilhami," katanya.
Rohaniwan Franz Magnis Suseno melihat Gus Dur sebagai salah satu sosok terpenting pascagenerasi empat lima. Bagi Magnis, tak ada orang yang begitu peduli pada kaum minoritas seperti Gus Dur. Keberaniannya membela kaum minoritas belum tertandingi siapapun.
Djohan Effendi, sahabat Gus Dur, mengenang kembali saat-saat penting ketika keduanya berinteraksi. Djohan bercerita kenapa Gus Dur ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hasrat Gus Dur itu, demikian Djohan, muncul setelah ada undangan dari Israel.
"Saat itu Gus Dur dan saya diundang Yitzak Rabin ke Israel. Pada waktu itu terjadi perjanjian perdamaian antara Israel dan Yordania. Kami mendengar dari pihak Israel bahwa mereka ingin sekali berdamai. Mereka bilang, hanya orang yang berperang bisa merasakan betapa berartinya suatu perdamaian. Bagi yang tak mengalami pedihnya peperangan, sulit menghayati arti damai," tutur Djohan.
Setelah mendengar suara hati dari Israel itulah, demikian Djohan bercerita, Gus Dur tergerak untuk ikut membantu terjadinya perdamaian antara Israel dan Palestina. "Tapi bagaimana bisa kita membantu kalau kita tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Di sini lah mulai timbul keinginan Gus Dur untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel," kata Djohan.
Djohan yang pernah menyunting buku "Pergolakan Pemikiran Isam, Cacatan Harian Ahmad Wahib" itu pada hakikatnya hendak menjelaskan kepada publik latar belakang yang mendasari pemikiran Gus Dur.
Gagasan Gus Dur mengenai Indonesia perlu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel mendapat kecaman keras. Bahkan Gus Dur sampai harus menerima tuduhan menyakitkan dari beberapa kalangan umat Islam sendiri. "Gus Dur antek Israel," kata sebagian di antara mereka.
Djohan juga berkisah tentang ide Gus Dur mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pelarangan Partai Komunis Indonesia, yang implikasinya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Karena ketetapan itu, anak-anak yang dilahirkan pada tahun enam puluhan ke atas harus menanggung ketidakadilan. Mereka direnggut haknya untuk mendapat pekerjaan karena orang tua mereka terlibat peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S/PKI).
Djohan yang paradigma berpikirnya selaras dengan Gus Dur itu juga bercerita tentang satu momen ketika dia dan Gus Dur jadi pembicara di sebuah seminar di Palembang yang berlangsung pada hari Jumat. Ketika waktu sembahyang Jumat tiba, panitia seminar bertanya: "Pak Djohan hendak shalat di mana?" Karena merasa sebagai musyafir, Djohan memilih tidak sembahyang Jumat. Tapi yang diucapkan Djohan pada penanya bukannya: "Saya musyafir". Tapi, "Saya ikut Gus Dur," ucap Djohan.
Kang Sobary mengatakan bahwa hubungannya dengan Gus Dur terlampau dekat. Meskipun dalam buku itu banyak cerita yang mengharumkan Gus Dur tapi buku itu tak sampai terjebak pada upaya memitoskannya. "Mitos tak mungkin lahir dari kedekatan seperti itu," tuturnya.
Peluncuran buku yang dipandu Najwa Shihab itu tentunya akan lebih bergemuruh seandainya ada pembicara yang menjadi musuh Gus Dur, setidaknya musuh ideologis. Soal ini, oleh Romo Magnis, dianggap tak begitu bermasalah.
"Gus Dur biasa menerima pujian dan kritik atau kecaman. Jadi tidak apa-apa kalau musuh Gus Dur diberi kesempatan bicara," kata filosof dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu.
Sobary berpendapat lain. Andai musuh Gus Dur didatangkan saat itu, pastilah orang itu akan dihabisi dalam forum. "Kasihan juga dia," katanya.
Bagi Sobary, Gus Dur adalah orang yang mau memberikan segalanya untuk siapapun yang memintanya. Ketika menjadi presiden, Gus Dur tak pernah menolak permintaan tamu-tamunya. "Ada yang minta ketemu malam hari, dilayaninya. Ini bedanya dengan presiden lainnya. Gus Dur bukan orang modern yang suka menjadwal waktu kerjanya."
Ada cerita dari orang dekat Gus Dur. Ini cerita di saat-saat Gus Dur jatuh sakit. Seorang sahabat begitu iba melihat Gus Dur terkulai di tempat tidur. Timbullah usul buat Gus Dur. Sahabat itu pun berkata: "Gus, sampeyan ini kan sering memberikan obat mujarab pada orang-orang yang sakit. Hanya dengan segelas air putih yang sampeyan beri doa-doa, mereka sembuh. Doa sampeyan untuk orang-orang itu terkabul. Kenapa sampeyan tidak berdoa minta kesembuhan pada Allah untuk sampeyan sendiri?"
Gus Dur konon tak segera menjawab. Lalu katanya: "Saya ini malu pada Allah. Saya tak mau minta-minta padanya. Allah sedang memberi saya nikmat yang luar biasa. Yang saya rasakan sekarang ini adalah nikmat. Apa lagi yang perlu saya minta dari Nya?"
Gus Dur lalu lelap--dalam kenikmatanNya. (M020/K004)
Islam = Pemberontak
Sejarah bangsa – bangsa di dunia seperti kita ketahu telah diliputi dengan berbagai peristiwa pemberontakan. Hampir setiap negara pernah mengalami gejolak perlawanan dari kelompok – kelompok yang tidak puas dengan rezim maupun pemerintahan yang berkuasa. Ada yang berhasil, namun tak sedikit pula yang gagal dan padam begitu saja. Yang berhasil, akhirnya mampu mewujudkan ide – ide atau gagasan yang mereka cita – citakan. Dan yang gagal akhirnya harus puas menerima keadaan tidak berubah untuk selanjutnya menyimpan mimpi – mimpi mereka atau benar – benar menyerah dan membuang semua ide dan gagasan yang mereka cita – citakan.
Kata pemberontakan selama ini lebih banyak mengundang persepsi negatif. Ia sering diidentikkan dengan tindakan kekerasan, pemerasan dan bahkan sparatisme. Namun pemberontakan menurut pengertian secara umum adalah sebuah tindakan melawan kebiasaan yang tidak sesuai dengan norma – norma yang diyakini orang/golongan yang memberontak. Dengan begitu pengertian memberontak bisa menjadi lebih luas dan obyektif. Tidak saja berarti negatif namun juga bisa berarti positif. Bahkan kalau kita mau menilik sejarah, maka lebih banyak hal positif yang dihasilkan dari pemberontakan.
Revolusi Kuba, revolusi Prancis, dan revolusi Islam Iran adalah beberapa contoh pemberontakan yang berhasil meruntuhkan kekuasaan rezim yang otoriter. Bahkan Negara republik Indonesia kita tercinta ini juga lahir akibat adanya pemberontakan atas kerajaan kolonial Hindia-Belanda dan juga atas kependudukan Jepang oleh para pahlawan bangsa. Dan contoh yang belum lama terjadi di negeri ini adalah peristiwa reformasi yang merupakan puncak dari pemberontakan dari mahasiswa beserta komponan – komponen bangsa lainnya terhadap rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Lalu, bagaimana Islam memandang pemberontakan? Sebagaimana kita tahu Islam adalah agama yang tidak saja mengatur tata cara peribadatan saja, lebih dari itu Islam juga menguatur seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah politik, sosial, dan ekonomi. Islam tidak mengharamkan terjadinya pemberontakan, asalkan pemberontakan itu berniat baik untuk merubah keadaan menjadi lebih baik dan diridhoi Allah SWT. Bahkan sebagian besar Nabi – nabi utusa Allah dilahirkan di dunia ini sebagai seorang pemberontak seoert yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Beberapa contohnya adalah Nabi Ibrahim as yang memberontak kebodohan Raja Namrud penyembah berhala, Nabi Musa as yang memberontak kelaliman dan kesombongan Fir’aun, Nabi Isa as yang memberontak penguasa romawi dan rabi – rabi Yahudi yang telah berani merubah – rubah perintah Allah dan membunuh Nabi – nabi. Bahkan nabi akhir jaman, Muhammad SAW pun juga memberontak kejahiliahan bangsa arab dengan mengorbankan seluruh harta benda, bahkan nyawa sekalipun untuk menggantikan kejahiliahan tersebut dengan nilai – nilai Islam yang bisa kita rasakan sekarang ini.
Jadi, sebagai seorang muslim, kita wajib memberontak jika keadaan memang memaksa kita untuk melakukannya. Tentunya kita memberontak sesuai dengan wewenang dan peran kita masing – masing. Jangan sampai kita bersikap sewena – wena dan melanggar hukum dengan mengatas namakan agama, justru sikap seperti inilah yang harus kita tentang. Contohnya adalah jika kita hidup di tengah – tengah masyarakat penganut paham hedonisme yang senang bermewah – mewahan dan tidak peduli dengan kondisi lingkungan, maka kita wajib memberontak dengan tidak mengikuti gaya hidup mereka tersebut, setelah itu berdakwah untuk menyadarkan mereka sesuai kapasitas kita sebagai anggota masyarakat. Atau jika mungkin kita seorang pejabat sedangkan lingkungan dimana kita bertugas menganggap korupsi adalah wajar bahkan telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging, maka kita wajib untuk melawan arus dengan tidak melakukan korupsi bagaimanapun resikonya. Selain itu kita juga wajib bekerja sama dengan pihak yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi.
Lebih dari itu, pemberontakan kepada pemerintah wajib dilakukan, tentunya tidak harus dengan cara kekerasan, jika pemerintah tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi, seperti yang telah terjadi pada peristiwa reformasi yang meruntuhkan rezim orde baru yang sarat akan korupsi dan pengekangan kebebasan berpendapat. Namun harus diingat juga, pemberontakan haram dilakukan bahkan pantas, dan memang harus, ditumpas jika berniatan buruk dan merongrong kekuasaan pemerintah yang masih konsisten menegakkan keadilan dan memenuhi hak – hak rakyatnya. Hal ini telah dicontohkan oleh khalifah Abu Bakar yang menumpas golongan nabi palsu serta golongan orang – orang yang tidak mau membayar zakar.
Jadi, sudah saatnya sekarang ini kita menjadi pemberontak yang cerdas. Yang tidak mudah tunduk dengan buaian kenyamanan dan kenikmatan dunia, tidak mudah takut dengan ancaman pembungkaman, berani melawan arus untuk menyuarakan kebenaran, selalu berada di pihak yang tertindas, namun tetap tunduk dah patuh kepada pemerintahan yang menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan. Semoga dengan begitu kita mamou menjadi pemberontak yang diridhoi Allah SWT. Amiin Ya Rabbal Alamiin.
Wallahualam bis shawab
Ingin Makmur? ‘Tinggalkan’ Masjid!!
Sudah setengah abad lebih usia republik kita tercinta ini. Namun, kesejahteraan rakyat yang menjadi cita – cita bangsa ini sampai sekarang belum bisa terwujud sepenuhnya. Sebagaimana kita ketahui kemakmuran hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja. Sedangkan sebagian besar lainnya masih harus berkutat dengan kemiskinan dan kebodohan.
Sesungguhnya apa yang salah dari negeri ini? Bukankah negeri kita tercinta ini sudah sangat kaya dengan sumber daya alam? Belum lagi budaya kita yang beragam merupakan hal istimewa yang tidak bisa ditemukan di negara lain. Selain itu, kita juga masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk mewujudkan kemakmuran. Modal itu tak lain adalah 90% lebih penduduk Indonesia adalah muslim! Umat yang telah dijanjikan kemenangan dunia akhirat oleh Allah SWT dan dibekali dengan dua senjata paling mutakhir sepanjang jaman : Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan jumlah orang Islam yang sedemikian banyak, tidak sepatutnya Indonesia menyandang status sebagai negara dunia ketiga. Bukankah Nabi SAW pernah bersabda “Tidak akan bisa dikalahkan 12.000 pasukan muslim”. Lalu apa yang salah dengan ratusan juta muslimin di Indonesia?
Jawabannya bukan terletak pada kurang taatnya umat muslimin di Indonesia. Karena telah begitu banyak Masjid, surau, taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), dan sekolah – sekolah islam lainnya bertebaran di hampir seluruh pelosok tanah air. Di dalamnya orang – orang Islam sholat, mengaji, menghafal kitab suci, dll. Namun, cukupkah hanya dengan sholat, mengaji, dan menghafal kitab suci kita bisa memakmurkan negara? Jawabannya adalah TIDAK!
Kesalahan terbesar umat Islam, khususnya para aktivis dakwah, saat ini adalah menganut dogma bahwa Islam itu hanya ada di dalam masjid. Selama ini orang – orang yang dianggap tahu agama mengadakan kajian, ceramah, dan diskusi di dalam masjid. Memang benar sebagai umat Islam kita diwajibkan untuk ikut serta dalam memakmurkan masjid, namun selain itu kita juga diwajibkan untuk begerak mengubah nasib bangsa kita menjadi bangsa yang makmur, termasuk didalamnya terdapat juga orang – orang nonmuslim. Untuk itulah, sudah saatnya kita keluar masjid dan mulai menunaikan kewajiban berdakwah kita. Karena di luar sana sangat banyak saudara – saudara kita yang masih tersesat.
Mengutuk dan menghakimi secara sepihak orang – orang yang ada di tempat prostitusi, pusat perjudian, dan tempat – tempat maksiat lainnya adalah tindakan salah kaprah yang seringkali dilakukan oleh golongan fundamentalis. Karena justru mereka itulah yang sedang membutuhkan kasih sayang kita. Dan sudah kewajiban kita untuk menunjukkan keindahan jalan Allah kepada mereka. Jika sudah begitu, akan semakin banyak saudara – saudara kita yang bergabung dengan barisan untuk mewujudkan kemakmur bersama yang kita impi - impikan.
Selain itu, anak – anak muda yang sebagian besar berada dalam pengaruh gaya hidup hedon ala barat adalah yang harus menjadi perhatian kita. Karena pemuda – pemuda lah yang nantinya akan menjadi tulang punggung pergerakan kita menuju kemakmuran. Maka dari itu sudah selayaknya kita melakukan upaya – upaya persuasif dan penuh kasih sayang kepada mereka untuk ikut serta memikirkan masalah umat. Kita tunjukkan pada para pemuda, yang merupakan aset paling bagi bangsa ini, kewajiban seorang muslim untuk ikut serta dalam upaya memakmurkan negeri tercinta ini.
Hal – hal tersebut harus dilakukan karena masih sangat sedikit sekarang ini umat muslim yang tersadar dan peduli akan kesejahteraan rakyat. Tentunya tindakan ini harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan dengan menunjukkan sisi indah Islam. Bukan dengan cara kekerasan dan penghakiman secara sepihak. Karena realitanya, sebagian besar dari orang Islam di negeri kita ini tengah terbuai dengan keindahan jalan pikir masing – masing yang dipenuhi dengan materialisme, hedonisme, dan kapitalisme yang menyesatkan.
Jadi, marilah saudara – saudara seperjuanganku semua untuk melepas pikiran – pikiran kolot kita. Mari kita ‘tinggalkan’ masjid untuk mengajak saudara-saudara yang lain masuk ke dalam barisan perjuangan yang penuh dengan rasa toleransi, tentunya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran SELURUH rakyat Indonesia. Amiin Ya Rabbal Alamiin.
Wallahualam bi-shawab.
Sesungguhnya apa yang salah dari negeri ini? Bukankah negeri kita tercinta ini sudah sangat kaya dengan sumber daya alam? Belum lagi budaya kita yang beragam merupakan hal istimewa yang tidak bisa ditemukan di negara lain. Selain itu, kita juga masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk mewujudkan kemakmuran. Modal itu tak lain adalah 90% lebih penduduk Indonesia adalah muslim! Umat yang telah dijanjikan kemenangan dunia akhirat oleh Allah SWT dan dibekali dengan dua senjata paling mutakhir sepanjang jaman : Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan jumlah orang Islam yang sedemikian banyak, tidak sepatutnya Indonesia menyandang status sebagai negara dunia ketiga. Bukankah Nabi SAW pernah bersabda “Tidak akan bisa dikalahkan 12.000 pasukan muslim”. Lalu apa yang salah dengan ratusan juta muslimin di Indonesia?
Jawabannya bukan terletak pada kurang taatnya umat muslimin di Indonesia. Karena telah begitu banyak Masjid, surau, taman pendidikan Al-Qur’an (TPA), dan sekolah – sekolah islam lainnya bertebaran di hampir seluruh pelosok tanah air. Di dalamnya orang – orang Islam sholat, mengaji, menghafal kitab suci, dll. Namun, cukupkah hanya dengan sholat, mengaji, dan menghafal kitab suci kita bisa memakmurkan negara? Jawabannya adalah TIDAK!
Kesalahan terbesar umat Islam, khususnya para aktivis dakwah, saat ini adalah menganut dogma bahwa Islam itu hanya ada di dalam masjid. Selama ini orang – orang yang dianggap tahu agama mengadakan kajian, ceramah, dan diskusi di dalam masjid. Memang benar sebagai umat Islam kita diwajibkan untuk ikut serta dalam memakmurkan masjid, namun selain itu kita juga diwajibkan untuk begerak mengubah nasib bangsa kita menjadi bangsa yang makmur, termasuk didalamnya terdapat juga orang – orang nonmuslim. Untuk itulah, sudah saatnya kita keluar masjid dan mulai menunaikan kewajiban berdakwah kita. Karena di luar sana sangat banyak saudara – saudara kita yang masih tersesat.
Mengutuk dan menghakimi secara sepihak orang – orang yang ada di tempat prostitusi, pusat perjudian, dan tempat – tempat maksiat lainnya adalah tindakan salah kaprah yang seringkali dilakukan oleh golongan fundamentalis. Karena justru mereka itulah yang sedang membutuhkan kasih sayang kita. Dan sudah kewajiban kita untuk menunjukkan keindahan jalan Allah kepada mereka. Jika sudah begitu, akan semakin banyak saudara – saudara kita yang bergabung dengan barisan untuk mewujudkan kemakmur bersama yang kita impi - impikan.
Selain itu, anak – anak muda yang sebagian besar berada dalam pengaruh gaya hidup hedon ala barat adalah yang harus menjadi perhatian kita. Karena pemuda – pemuda lah yang nantinya akan menjadi tulang punggung pergerakan kita menuju kemakmuran. Maka dari itu sudah selayaknya kita melakukan upaya – upaya persuasif dan penuh kasih sayang kepada mereka untuk ikut serta memikirkan masalah umat. Kita tunjukkan pada para pemuda, yang merupakan aset paling bagi bangsa ini, kewajiban seorang muslim untuk ikut serta dalam upaya memakmurkan negeri tercinta ini.
Hal – hal tersebut harus dilakukan karena masih sangat sedikit sekarang ini umat muslim yang tersadar dan peduli akan kesejahteraan rakyat. Tentunya tindakan ini harus dilakukan dengan penuh kasih sayang dan dengan menunjukkan sisi indah Islam. Bukan dengan cara kekerasan dan penghakiman secara sepihak. Karena realitanya, sebagian besar dari orang Islam di negeri kita ini tengah terbuai dengan keindahan jalan pikir masing – masing yang dipenuhi dengan materialisme, hedonisme, dan kapitalisme yang menyesatkan.
Jadi, marilah saudara – saudara seperjuanganku semua untuk melepas pikiran – pikiran kolot kita. Mari kita ‘tinggalkan’ masjid untuk mengajak saudara-saudara yang lain masuk ke dalam barisan perjuangan yang penuh dengan rasa toleransi, tentunya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran SELURUH rakyat Indonesia. Amiin Ya Rabbal Alamiin.
Wallahualam bi-shawab.
Gunung Jangan Pula Meletus
Oleh Emha Ainun Nadjib
KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai
Sudrun. Apakah
kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu
menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan
menghitung nilai-
nilai kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu
mengalir pelan
dari salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah.
Karena tak
bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab,
barang
siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh
kesengsaraan
para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping,
akan kubunuh.
"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding
Aceh!," aku
menyerbu.
"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun
menyambut
dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.
"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"
"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang
rakyat Aceh
dinikahkan dengan surga."
"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat
dan paling
menderita dibanding kita senegara, kenapa masih
ditenggelamkan ke
kubangan kesengsaraan sedalam itu?"
"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada
Tuhannya
sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian
ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."
"Termasuk Kiai...."
Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa
begini. Sejak
dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.
"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu
peringatan, kenapa
tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta?
Kalau itu
ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan
dan
ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik
dan
militer tak berkesudahan?"
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang
lucu dari
kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.
"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan?
Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.
Aku menjawab tegas, "Ya."
"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"
"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa
Indonesia akan
terus mempertanyakan."
"Sampai kapan?"
"Sampai kapan pun!"
"Sampai mati?"
"Ya!"
"Kapan kamu mati?"
"Gila!"
"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu
mempertanyakan
kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di
Aceh. Kamu
bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima
menit
mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu
ketiakmu. Kamu
pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa
kamu tidak
melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada
Tuhan. Kami
menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya,
kemudian kamu
tabuh genderang perang menantangNya!"
""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk
merundingkan hal-
hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan
adalah
diktator dan otoriter...."
Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang
seluruh
tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari
kewajiban."
"Kewajiban apa?"
"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator
dan
otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan
logikanya, lalu
belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan
mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang
berhak
bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak
menyayang
lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke
tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang
kepada
siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil
siapa pun.
Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah
yang
menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada
benar atau
salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya.
Ainun,
Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..."-ia meraih
lengan
saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini
kepadamu...."
"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.
"Pakailah sesukamu."
"Emang untuk apa?"
"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."
"Sinting!"
"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal
pembelajaran yang
terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh."
Ia membawaku duduk kembali.
"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib
terbaik untuk
manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas
bajuku.
"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia
mutiara yang
memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan
kenyang lebih
dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya
makanan lagi.
Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya
sendiri. Panjang
rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling
dicintai
Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang
kampung
Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat
jidatnya
berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat
panas badan
oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama
diizinkan Tuhan
mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua
dibiarkan oleh
Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret
dengan kuda
sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya.
Muhammad
dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan
sehingga
menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang
pekerjaannya
mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik
kalian
busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah,
menginginkan
nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian
ditimpa
bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga
saya jatuh ke
belakang.
"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan
keyakinan
bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan
Rahim...."
"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu
tidak yakin?"
"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia
Kiai ludahi."
"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu.
Yang
terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi."
"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."
"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta
sosial,
Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"
"Aceh, Kiai, Aceh."
"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh
dari bawah
bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang
segera
dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat
mengangkut mereka
langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah
tersedia.
Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak
poranda
kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi
kebesaran
kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan
menolong mereka
untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka.
Kejadian
tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala
tema Aceh
Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat
Aceh dan
Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang
memenjarakan
mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka
menyatu, sehingga
akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang
melapangkan kedua
pihak".
"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para
korban sukar
dibayangkan akan mampu tertanggungkan."
"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu
orang yang
tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut
tidak
selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai
hidupmu.
Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan
nyawa tidak
melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya
adalah
keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan
tak berlaku
di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan
berhenti ketika
kamu mati."
"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak
berdosa,
sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng
masyarakat
hidup nikmat sejahtera?"
"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng
itu di
neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu
mereka
memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak
tokoh
negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera
mengambilnya,
sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar
biasa jahatnya
kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"
"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan
saya sendiri,
Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir
setakaran
dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."
"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana
pola
perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia
membiarkan
terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan,
ekonominya nggraras
dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri
manusia sendiri-
maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu
mereka
dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang
di Aceh
bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan
bagi mereka
yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan
pembangkitan
bagi yang masih dibiarkan hidup."
"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai
ketidakadilan...."
"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan
ayam menjadi
riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk
kenikmatan
manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk
mengetahui, ia
sedang riang dan bersyukur."
"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman
sejahtera
hidupnya?"
"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang
kepada mereka
sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi
peringatan
berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan
manusia,
dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan
sebelumnya.
Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin
itu
menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi
peringatan dalam
bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan
jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan...."
"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong,
karena ngeri
membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil
berdiri dan
ngeloyor meninggalkan saya.
"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada
Tuhan agar
beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana
alam...."
"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan
adalah Tuhan,
kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.
Sabtu, 22 Januari 2011
Buya Hamka : Jejak Pemikiran Dan Teladan
BUYA Hamka adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pemikirannya tidak hanya berlaku di zamannya, naman masih sangat kontekstual di masa kini. Produktivitas gagasannya di masa lalu sering menjadi inspirasi dan rujukan gagasan-gagasan kehidupan di masa kini.
Hamka mewakili sosok kepribadian yang cemerlang. Ratusan karya tulis dilahirkannya dari ketajaman memotret berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Tidak mengherankan bila dalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun menyandingkannya dengan pemikir besar Muslim terkemuka.
Menafsirkan berbagai karya Hamka di masa lalu yang masih aktual di masa kini bisa didapatkan kesimpulan bahwa diri dan pemikirannya mewakili sosok cendekiawan yang, meminjam Idi Subandy Ibrahim dalam Hamka, Jembatan Dua Dunia (Pikiran Rakyat 2008), humanis-religius. ”Di Bawah Lindungan Ka`bah”, ”Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, ”Falsafah Hidup”, ”Islam dan Demokrasi”, ”Keadilan Sosial dalam Islam”, dan lainnya menunjukkan kecintaannya yang mendalam akan nilai-nilai keadilan dalam bermasyarakat dan kepekaannya terhadap realitas sosial. Karya-karya tersebut menjadi penunjuk atas keluasan cakrawala berpikir seorang Buya Hamka.
Pemikiran Buya Hamka relevan di tengah-tengah masalah keberagamaan bangsa ini yang pasang surut di tengah tarik-menarik antara konflik dan kekerasan. Keberagamaan yang tidak kontekstual dan hanya mementingkan tata cara keberagamaan formal sebagai ”substansi” beragama dan ”satu-satunya” cara terbaik beragama justru seringkali menyeret seseorang ke dalam pemikiran yang sempit. Seolah-olah kehidupan ini dihuni oleh segolongan orang yang memiliki cara beriman dan beragama yang sama persis.
Secara kontekstual, kehidupan beragama seperti adanya inilah yang menjadi fakta masyarakat. Kekerasan dan konflik kerap dipicu oleh sentimen yang dibangun melalui sempitnya cara memandang hidup dan kehidupan. Pluralitas adalah kenyataan kehidupan. Dalam konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.
Tafsir atas pemikiran Buya Hamka memang beragam. Namun perbedaan tafsir di dalamnya seharusnya dikokohkan dalam kerangka memperkaya khasanah keberagamaan dari sudut pandang substansinya. Ini akan sejalan dengan semangat pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup. Untuk mendapatkan contohnya, sosok pemikiran Buya Hamka seperti di atas dapat dijumpai dalam jejak-jejak pengaruhnya kepada, misalnya, pemikiran dan kepribadian
Buya Syafii Maarif, salah seorang mantan Ketua PP Muhammadiyah yang mengaku pembentukan kepribadiannya banyak dipengaruhi olehnya. Kecintaan atas keadilan dan kemanusiaan menjadi semangat untuk memperbaiki kehidupan yang lebih damai di tengah realitas sosial yang beragam. Pribadi tangguh yang dilahirkan dari tanah Minang ini memberikan teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralisme serta mengakui perbedaan.
Perbedaan keyakinan bukan jalan atau peluang untuk saling bermusuhan. Hemat penulis, karakteristik keberimanan yang otentik seperti ini bila tidak dikembangkan justru berpeluang melahirkan keberimanan yang sempit yang menjadi jalan untuk melihat the others selalu sebagai sosok yang harus dilawan dan dimusuhi.
Keberpihakannya pada keadilan tercermin dari persahabatan antara Buya dengan Kardinal Justinus Darmoyuwono.
Kedua tokoh agama tersebut bersatu menentang kekuasaan Soeharto pada tahun 1970an yang sudah mulai menampakkan tanda-tanda otoriterismenya. Buya Hamka dan Kardinal Darmoyuwono memiliki perbedaan prinsip keagamaan tetapi justru memiliki hubungan yang sangat baik. Pada saat menyangkut masalah kebangsaan mereka bersatu menentang kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hal itulah yang saat ini sudah minimal, saat Indonesia kehilangan tokoh-tokoh yang peduli pada masalah kebangsaan.
Saat ini tokoh-tokoh masyarakat dan elite politik kehilangan roh kerakyatan seperti yang dimiliki Buya Hamka.
Beliau adalah seseorang yang terbuka terhadap keyakinan orang lain. Selain itu, memiliki sikap bahwa manusia harus hidup berdampingan secara toleran, menghormati perbedaan, menjaga keyakinan dan menjunjung tinggi kebebasan. Pergaulan Buya melintas batas suku, bangsa, agama dan keturunan.
Kepribadiannya dicerminkan dari sikapnya yang terbuka. Buya juga membaca karya-karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud dan sebagainya. Ia seorang Muslim yang tidak harus antibarat hanya karena melihat barat dianggap terlalu banyak yang tidak sesuai dengan sikap keberagamaannya.
Ketegaran dan ketangguhan seorang cendekiawan seperti Buya Hamka inilah yang semakin jarang ditemui di tengah dunia yang instan, pragmatis dan simplifikatif. Buya adalah seorang yang berpendirian teguh memperjuangkan keadilan. Ia berani melawan kekuasaan yang zalim sehingga ia dipenjara berkali-kali. Keberaniannya sungguh-sungguh ditegakkan atas nama kebenaran dan pembelaan atas ketidakadilan.
Sikap keberagamaan yang memerankan kepedulian pada realitas sosial akan melahirkan cara beriman yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan.
Kemajemukan adalah fakta sosial yang tak bisa diingkari. Pemikiran yang sempit akan berkecenderungan untuk membela dirinya sendiri dengan kepedulian yang sangat kecil, bahkan musnah, terhadap orang lain. Bahkan dalam segolongan sekalipun, sikap seperti ini bisa membayakan perdamaian karena apapun yang terlihat berbeda selalui disikapi sebagai musuh. Sebagai musuh, tak ada cara lain selain ditundukkan, karena ia dianggap mengganggu.
Buya Hamka sudah menyelami realitas sosial seperti ini dalam khasanah kebangaan Indonesia di masa lalu. Keterbukaannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula.
Adapun keimanan bersifat membantu mendorong tumbuhnya semangat penghargaan ini. Apapun jenis keimanan ini sifatnya lebih individualistik dan diharapkan memberikan semangat untuk lebih arif terhadap realitas sosial yang ada. Keimanan bukan untuk melahirkan permusuhan, melainkan untuk meretas persaudaraan setiap saat. Perbedaan bukan jalan menuju peperangan, melainkan jalan menuju kedamaian yang sesungguhnya. Dan untuk itu pula perbedaan itu ada.
Buya Hamka memberikan banyak teladan kepada Indonesia sebagai bangsa di tengah-tengah realitas perbedaan yang ada. Sosok yang tangguh dan mau bersahabat dengan siapa saja yang memiliki kemanusiaan perlu dicontoh bukan hanya oleh mereka yang Muslim, melainkan siapa saja yang mengaku sebagai manusia Indonesia.
Sumbangsih pemikiran yang otentik dan kontekstual untuk kehidupan kebangsaan yang sehat itulah yang perlu digali dari sosok Buya Hamka. Menelusuri jejak-jejak pemikiran seharusnya memupuk keteladanan berpikir, bertindak dan berperilaku. Para elit politik, sosial, dan agama yang masih mengedepankan cara berpikir ”segolongan” seharusnya lebih banyak menimba pemikiran Buya Hamka.
Bangsa ini merindukan lahirnya buya-buya baru yang berani belajar dari kegagalan masa lampau dan menatap masa depan dengan landasan utama: kemanusiaan dan keadilan.
BENNY SUSETYO, adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dewan Pembina Averroes Community
Hamka mewakili sosok kepribadian yang cemerlang. Ratusan karya tulis dilahirkannya dari ketajaman memotret berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Tidak mengherankan bila dalam Oxford History of Islam (2000), John L Esposito pun menyandingkannya dengan pemikir besar Muslim terkemuka.
Menafsirkan berbagai karya Hamka di masa lalu yang masih aktual di masa kini bisa didapatkan kesimpulan bahwa diri dan pemikirannya mewakili sosok cendekiawan yang, meminjam Idi Subandy Ibrahim dalam Hamka, Jembatan Dua Dunia (Pikiran Rakyat 2008), humanis-religius. ”Di Bawah Lindungan Ka`bah”, ”Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, ”Falsafah Hidup”, ”Islam dan Demokrasi”, ”Keadilan Sosial dalam Islam”, dan lainnya menunjukkan kecintaannya yang mendalam akan nilai-nilai keadilan dalam bermasyarakat dan kepekaannya terhadap realitas sosial. Karya-karya tersebut menjadi penunjuk atas keluasan cakrawala berpikir seorang Buya Hamka.
Pemikiran Buya Hamka relevan di tengah-tengah masalah keberagamaan bangsa ini yang pasang surut di tengah tarik-menarik antara konflik dan kekerasan. Keberagamaan yang tidak kontekstual dan hanya mementingkan tata cara keberagamaan formal sebagai ”substansi” beragama dan ”satu-satunya” cara terbaik beragama justru seringkali menyeret seseorang ke dalam pemikiran yang sempit. Seolah-olah kehidupan ini dihuni oleh segolongan orang yang memiliki cara beriman dan beragama yang sama persis.
Secara kontekstual, kehidupan beragama seperti adanya inilah yang menjadi fakta masyarakat. Kekerasan dan konflik kerap dipicu oleh sentimen yang dibangun melalui sempitnya cara memandang hidup dan kehidupan. Pluralitas adalah kenyataan kehidupan. Dalam konteks ini dibutuhkan pemikiran yang bisa mengayomi semua dimensi kehidupan. Penghargaan dan sikap toleran atas perbedaan jauh lebih penting dikemukakan untuk menciptakan tata kehidupan yang damai.
Tafsir atas pemikiran Buya Hamka memang beragam. Namun perbedaan tafsir di dalamnya seharusnya dikokohkan dalam kerangka memperkaya khasanah keberagamaan dari sudut pandang substansinya. Ini akan sejalan dengan semangat pemikiran Buya Hamka sebagai intelektual yang mencintai keadilan dan memandang perbedaan sebagai suatu kenyataan hidup. Untuk mendapatkan contohnya, sosok pemikiran Buya Hamka seperti di atas dapat dijumpai dalam jejak-jejak pengaruhnya kepada, misalnya, pemikiran dan kepribadian
Buya Syafii Maarif, salah seorang mantan Ketua PP Muhammadiyah yang mengaku pembentukan kepribadiannya banyak dipengaruhi olehnya. Kecintaan atas keadilan dan kemanusiaan menjadi semangat untuk memperbaiki kehidupan yang lebih damai di tengah realitas sosial yang beragam. Pribadi tangguh yang dilahirkan dari tanah Minang ini memberikan teladan untuk bersikap dewasa dan menghargai pluralisme serta mengakui perbedaan.
Perbedaan keyakinan bukan jalan atau peluang untuk saling bermusuhan. Hemat penulis, karakteristik keberimanan yang otentik seperti ini bila tidak dikembangkan justru berpeluang melahirkan keberimanan yang sempit yang menjadi jalan untuk melihat the others selalu sebagai sosok yang harus dilawan dan dimusuhi.
Keberpihakannya pada keadilan tercermin dari persahabatan antara Buya dengan Kardinal Justinus Darmoyuwono.
Kedua tokoh agama tersebut bersatu menentang kekuasaan Soeharto pada tahun 1970an yang sudah mulai menampakkan tanda-tanda otoriterismenya. Buya Hamka dan Kardinal Darmoyuwono memiliki perbedaan prinsip keagamaan tetapi justru memiliki hubungan yang sangat baik. Pada saat menyangkut masalah kebangsaan mereka bersatu menentang kekuasaan pemerintahan yang zalim. Hal itulah yang saat ini sudah minimal, saat Indonesia kehilangan tokoh-tokoh yang peduli pada masalah kebangsaan.
Saat ini tokoh-tokoh masyarakat dan elite politik kehilangan roh kerakyatan seperti yang dimiliki Buya Hamka.
Beliau adalah seseorang yang terbuka terhadap keyakinan orang lain. Selain itu, memiliki sikap bahwa manusia harus hidup berdampingan secara toleran, menghormati perbedaan, menjaga keyakinan dan menjunjung tinggi kebebasan. Pergaulan Buya melintas batas suku, bangsa, agama dan keturunan.
Kepribadiannya dicerminkan dari sikapnya yang terbuka. Buya juga membaca karya-karya sarjana Prancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud dan sebagainya. Ia seorang Muslim yang tidak harus antibarat hanya karena melihat barat dianggap terlalu banyak yang tidak sesuai dengan sikap keberagamaannya.
Ketegaran dan ketangguhan seorang cendekiawan seperti Buya Hamka inilah yang semakin jarang ditemui di tengah dunia yang instan, pragmatis dan simplifikatif. Buya adalah seorang yang berpendirian teguh memperjuangkan keadilan. Ia berani melawan kekuasaan yang zalim sehingga ia dipenjara berkali-kali. Keberaniannya sungguh-sungguh ditegakkan atas nama kebenaran dan pembelaan atas ketidakadilan.
Sikap keberagamaan yang memerankan kepedulian pada realitas sosial akan melahirkan cara beriman yang lebih terbuka dan menghargai perbedaan.
Kemajemukan adalah fakta sosial yang tak bisa diingkari. Pemikiran yang sempit akan berkecenderungan untuk membela dirinya sendiri dengan kepedulian yang sangat kecil, bahkan musnah, terhadap orang lain. Bahkan dalam segolongan sekalipun, sikap seperti ini bisa membayakan perdamaian karena apapun yang terlihat berbeda selalui disikapi sebagai musuh. Sebagai musuh, tak ada cara lain selain ditundukkan, karena ia dianggap mengganggu.
Buya Hamka sudah menyelami realitas sosial seperti ini dalam khasanah kebangaan Indonesia di masa lalu. Keterbukaannya terhadap perbedaan sekaligus meletakkan sikap dasar toleransi adalah jalan yang paling baik daripada menutup semua peluang dialog dan hidup berdampingan. Indonesia adalah bangsa yang dibangun atas dasar kesamaan nasib, bukan semata-mata kesamaan berkeimanan. Sudah selayaknya bangsa ini diolah dan dibangun dengan cara pandang yang terbuka pula.
Adapun keimanan bersifat membantu mendorong tumbuhnya semangat penghargaan ini. Apapun jenis keimanan ini sifatnya lebih individualistik dan diharapkan memberikan semangat untuk lebih arif terhadap realitas sosial yang ada. Keimanan bukan untuk melahirkan permusuhan, melainkan untuk meretas persaudaraan setiap saat. Perbedaan bukan jalan menuju peperangan, melainkan jalan menuju kedamaian yang sesungguhnya. Dan untuk itu pula perbedaan itu ada.
Buya Hamka memberikan banyak teladan kepada Indonesia sebagai bangsa di tengah-tengah realitas perbedaan yang ada. Sosok yang tangguh dan mau bersahabat dengan siapa saja yang memiliki kemanusiaan perlu dicontoh bukan hanya oleh mereka yang Muslim, melainkan siapa saja yang mengaku sebagai manusia Indonesia.
Sumbangsih pemikiran yang otentik dan kontekstual untuk kehidupan kebangsaan yang sehat itulah yang perlu digali dari sosok Buya Hamka. Menelusuri jejak-jejak pemikiran seharusnya memupuk keteladanan berpikir, bertindak dan berperilaku. Para elit politik, sosial, dan agama yang masih mengedepankan cara berpikir ”segolongan” seharusnya lebih banyak menimba pemikiran Buya Hamka.
Bangsa ini merindukan lahirnya buya-buya baru yang berani belajar dari kegagalan masa lampau dan menatap masa depan dengan landasan utama: kemanusiaan dan keadilan.
BENNY SUSETYO, adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Dewan Pembina Averroes Community
Langganan:
Postingan (Atom)