Pages

Senin, 31 Januari 2011

Memperkosa Surti


Tak terhitung sudah berapa banyak kendaraan berlalu melewati jembatan itu. Pemuda kurus itu terus saja menatap jalanan, begitu tenang dan hening. Kopi hangat yang sudah berjam-jam lalu dipesannya pun seakan tak pernah diliriknya, walaupun aku tahu kopi itu pun tak lagi dapat disebut hangat.
Tak biasa aku melihat pemuda itu datang sendiri, sejak pertama kali aku membuka lapak di trotoar jembatan ini untuk mempertahankan kehormatanku sebagai seorang lelaki. Aku tetap harus berjualan, walaupun kata sebagian orang – orang berdasi itu berjualan di trotoar seperti aku dan puluhan orang lainnya yang bernasib sama sepertiku adalah merusak keindahan kota. Namun, aku berani beradu pendapat tentang masalah ini. Berjualan di pinggir jembatan yang masih baru dan sepi kendaraan sama sekali tidak merusak keindahan kota, melainkan mampu menghidupkan suasana dan mencegah begal-begal jalanan beraksi.
Tapi tak pentinglah jalan hidupku yang cukup rumit dan membosankan ini. Aku lebih tertarik dengan pemuda kurus yang telah lama menjadi langgananku tanpa aku tahu namanya itu. Malam ini tidak terlalu ramai seperti biasanya. Entah kenapa sorot matanya membuatku penasaran, dia nampak begitu marah, dendam, namun juga terlihat sekali sedang menahan tangis.
Yang kuingat lima hari yang lalu dia datang ke lapakku bersama teman wanitanya seperti biasa. Usia mereka kurang lebih sama. Tak ada sesuatu yang menarik awalnya, mereka hanya memesan satu gelas kopi hangat dan sepiring mie rebus instan. Persis yang aku lakukan bersama Surti dulu. Dulu sekalii..
Teringat sekali aku akan pertemuan kami yang terahir kali di bekas gardu desa yang tak lagi terpakai. Tempat biasa kami meneguk racun asmara tanpa belas kasih berdua. Dimana tak lagi kami peduli dengan apa yang orang tua biasa menyebutnya dengan ‘dosa’. Tapi kala itu sangat berbeda. Walaupun suasanya benar-benar sama, namun tak ada lagi percumbuan diantara aku dan Surti. Wanita gemuk tapi manis itu nampak begitu lain, begitu dingin. Pagutan-pagutan yang terasa di bibir ini juga terasa tidak seperti biasanya, seluruh lenggak-lenggok tubuh dan desahan nafasnya seolah-olah ingin menggambarkan kepedihan dan penyesalan.
“Surti harap mas bisa ngerti keputusan Surti mas.”
“Tapi kenapaaa!!! Bajingan kamu Sur!” tanpa sadar terlepas saja kata-kata itu. Seketika aku berharap menjadi bisu agar kalimat itu tak pernah terucap.
Dan memang benar, itulah kalimat terakhir yang kuucapkan pada Surti. Dengan penuh amarah, kujual tanah warisan ibuku kepada makelar tanah yang lebih bajingan dari siapapun. Bahkan surti. Aku tahu bajingan itu sedang tertawa terbahak-bahak karena berhasil mendapatkan tanah yang selama ini mereka inginkan dengan harga murah. Bahkan tanah itu kujual dengan harga yang lebih murah dari yang mereka tawarkan sebelumnya.
Dan beginilah keadanku sekarang,menjadi salah satu dari ratusan orang desa yang mencari peruntungan di kota terbesar kedua di negeri ini. Di kota yang sama sekali belum pernah aku injak sebelumnya ini aku bertarung melawan nasib dan Satpol PP, sambil terus mencoba melupakan hadiah terindah yang pernah Surti berikan padaku dulu, kegadisannya.
Aku mendadak ingin menjadi sutradara atas hidupku sendiri. Mungkin aku bisa memutar rekaman ke masa lalu dan kuatur ulang agar lelaki mantan TKI itu tidak pernah menemui bapak Surti. Atau aku bisa memutar ulang adeganku saat di gubuk bekas gardu agar aku bisa menikmati pelukan tubuh Surti selama-lamanya. Atau mungkin jika aku benar-benar lemah dan tak bisa melakukan itu semua, ingin saja aku tidak melihat pemuda kurus ini. Setidaknya aku tidak akan pernah lagi mengungkit-ungkit kenangan ini.
Dan....
“Heh, goblok! Lariii!!!”
Kulihat seluruh teman-temanku berlari berhamburan. Dan tanpa bisa aku mencegah, seluruh syaraf di tubuhku ini menyuruhku untuk lari sekuat tenaga. Menembus pekat malam dengan membawa apa saja yang bisa kubawa. Tidak ada lagi Surti, makelar tanah bajingan, lelaki mantan TKI, tidak juga pemuda kurus itu. Semua telah hancur, atau lebih tepatnya dihancurkan oleh kesombongan bapak-bapak Satpol PP yang dengan gagah telah memperkosa sisa-sisa kehormatanku.
Irul
Madiun, #home 31/01/11 09:18 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

love network

love network
love for all