Pages

Senin, 07 Februari 2011

Matahari 10 Tahun

10 tahun adalah waktu yang sangat singkat untuk mengingat kembali sebuah kenangan yang terlewat. Seperti baru kemarin rasanya saat terakhir kali aku menginjakkan kaki di kota itu. Kota yang mampu menorehkan berjuta luka dalam waktu semalam. Kota dimana sebelum malam mengerikan itu aku sudah menggantungkan mimpi yang sangat tinggi, setinggi matahari. Dan memang, akhirnya matahari itupun membakarku tanpa ampun. Undangan 10 tahun silam yang kutemukan tak sengaja saat membersihkan gudang telah membawaku kembali mengingat masa-masa itu.

Saat itu aku sungguh menikmati duniaku, aku menemukan orang-orang yang senasib sepertiku. Dibuang dari masyarakat karena dianggap sampah. “BIKIN MALU ORANG TUA!” adalah kalimat yang paling sering aku, dan mungkin ribuan orang sepertiku, dengar. Kalimat itu sungguh sangat menyakitkan. Bagaikan sebuah belati tajam yang menusuk organ vital perasaanku. Namun, karena terlalu seringnya, tusukan itupun menjadi terasa nyaman saat menghujam jantungku.

Di dalam kereta ekonomi gerbong tiga kala itu, aku berbaur dengan puluhan penumpang lain yang rela berdesak-desakan untuk pergi ke kota tujuan mereka masing-masing. Begitu pun aku, sambil memandangi surat undangan yang sudah sebulan lalu aku terima, aku mempunyai mimpi besar tentang kebebasan dan persamaan hidup. Dan, iniah momen yang kupikir sangat tepat bagiku untuk menyampaikan ide-ide yang aku simpulkan dari curahan hati sahabat-sahabatku.

Kereta itu berjalan terasa amat lambat. Tatapan aneh dari penumpang-penumpang lainnya membuatku semakin tidak nyaman. Aku merasa bagaikan seorang Yahudi yang terjebak dalam gerbong berisi orang-orang Nazi anak buah Hittler. Begitu terasing dan terancam. Tatapan sama seperti saat ayah dan kakakku mengusirku dari rumah, hanya tatapan iba dari ibuku lah yang waktu itu seakan mengatakan bahwa aku tidak sendiri. Sambil menggenggam erat undangan ‘harapan’ itu, aku mencoba untuk menahan luka. Aku memimpikan suatu hari nanti tak akan ada lagi tatapan seperti itu, karena akupun juga ciptaan Tuhan sama seperti mereka dan aku juga haus kasih sayangNya.

Dan akhirnya tiba juga aku di stasiun tujuanku. Dengan mantap kususuri jalanan kota itu. Aku tunjukkan sobekan kertas berisi alamat teman lamaku ke orang setempat yang aku temui jika aku mulai kebingungan. Dan tetap saja aku masih dapat melihat tatapan-tatapan itu disini. Bahkan aku agak sedikit takut dan ngeri ketika melihat puluhan orang berjubah di salah satu sudut jalanan itu. Entah apa yang mereka bicarakan, namun jelas sekali terlihat aroma kemarahan di wajah mereka.

Tibalah saatnya malam yang aku tunggu, di aula sebuah gedung pinggiran kota aku berkumpul dengan seratusan orang-orang yang bernasib sama sepertiku. Di tempat ini aku tak lagi merasa aneh, tak lagi kutemui tatapan-tatapan itu, tatapan ayah, tatapan penumpang kereta, dan yang paling membuatku nyaman adalah tak ada tatapan orang-orang berjubah itu.

Aku mempersiapkan diriku sebaik mungkin, mulai dari pakaian, gaya berjalan, serta catatan kecil dari apa saja yang ingin aku sampaikan nanti. Aku benar-benar berharap malam ini akan membawa perubahan. Perubahan yang selama ini aku impi-impikan. Perubahan yang didambakan yang dinanti-nanti oleh ribuan orang yang senasib denganku. Bagaikan malam yang menantikan datangnya mentari keesokan harinya, mimpi akan kebebasan dan persamaan itu tampak begitu nyata. Perubahan tampak seperti berada di depan mata.
Dan memang benar, perubahan itu memang datang. Perubahan yang bahkan lebih besar dari apa yang kuharapkan semula. Karena seketika batu-batu beterbangan di seluruh aula, bahkan tak sengaja mata ini melihat kobaran api kecil di beberapa sudut ruangan. Teriakan-teriakan suci memekakkan telinga semakin keras terdengar. Dan orang-orang berjubah itupun berkeliaran, bak tentara Jengis khan yang memporak-porandakan kota Baghdad. Kejam dan membawa kehancuran.

Sekuat tenaga aku pun lari, meninggalkan asa, mimpi, dan cita-cita tentang kebebasan terbakar bersama tumpukan batu. Aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi, aku hanya ingin selamat. Sekilas terbayang-bayang wajah ibu yang selalu membelaku dari kemarahan ayah. Entah kenapa aku ingin berlari secepat mungkin untuk menemuinya. Mengadukan semua yang aku alami, seperti saat makan siangku dirampas kakak kelas sewaktu SD dulu. Aku merindukan saat-saat itu.

Dan...
“Yah,ayo cepetan yah. udah ditungguin mama tuh.” Suara gadis kecil berusia 4 tahun itu bagaikan malaikat yang menjemputku dari penjara kenangan kelam itu.

Aku seakan bangun dari mimpi buruk dan mendapati diriku berada di dunia yang lebih baik. Kuletakkan kembali undangan yang berkop “KONFERENSI WARIA TINGKAT NASIONAL 2001” tersebut dan menemui istriku. Seorang wanita yang telah menolongku dari kejaran orang-orang berjubah, 10 tahun yang lalu.

Irul
Madiun, #home, 02/2/11 06:13 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

love network

love network
love for all