Pages

Selasa, 03 Mei 2011

BAYANG



“Kau tidak akan pernah mengerti!” Bentakku  dengan sangat keras. Nafasku menderu tak beraturan, kurasakan puluhan butir keringat kaluar dari pori-pori wajahku yang tengah merah padam menahan amarah. Mataku menatap tajam ke arahnya. Benar-benar tajam, setajam dia membalas tatapannya padaku.
            “Apa kau bilang?! Tutup mulutmu, aku mengerti kamu luar dalam. Sama sekali tidak ada rahasia milikmu yang aku tidak tahu. Hidup ini memang berat, tapi apakah dengan kita bunuh diri semua masalah akan selesei?”
            Aku kehabisan kata-kata, sedikit menyesal aku memulai lagi pertengkaran ini. Selalu menimbulkan luka, luka baginya dan luka bagiku. Semua hal yang dapat melukainya selalu saja membuatku merasa sakit. Seakan telah menjadi hukum alam yang harus aku terima dan jalani. Terkadang aku menikmati keadaan ini, namun tak jarang pula aku merasa sangat menderita. Seperti yang kini tengah kurasakan.
            Entah kenapa akhir-akhir ini emosiku cepat sekali tersulut. Aku juga tidak tahu kenapa sekarang kami sering sekali bersebrangan pendapat, yang tidak jarang memicu pertikaian sperti yang baru saja terjadi.
            Namun demi mengingat kenangan dan persahabatan kita selama ini, kemarahankupun surut juga. Terbersit dalam pikiranku bahwa selama ini aku terlampau keras dan egois. Dan baru kali inilah aku dengar dia membentakku.
            “Aku minta maaf, aku berantakan.” Kataku pelan hampir tak terdengar. Tubuhku kini telah bersandar di dinding yang sedari tadi menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Dan sekarang dinding itu pulalah yang membantuku menyangga semua beban-beban dan masalahku.
            “Tak apa. Bukankah dulu kita selalu akur? Walaupun secara mendasar sifat kita berbeda, tidak pernah kita seperti ini. Apa yang telah membuatmu menjadi sangat temperamental seperti ini?”
            “Entahlah, aku terlalu lelah untuk berpikir.”
            “Baiklah, sebaiknya kamu tidur sekarang.”
            Memang benar, tubuh dan otakku sangat lelah kali ini. Aku belum siap menerima kenyataan bahwa aku dan dia berbeda. Aku rindu dia yang dulu, yang tidak pernah membantah pendapat dan perkataanku. Entah siapa yang sebenarnya telah berubah? Aku tidak benar-benar tahu. Juga mimpi-mimpi itu, mimpi yang selalu saja muncul setiap kali aku memejamkan mata itu benar-benar menyiksaku.
            Aku rebahkan tubuh lelahku sekenanya diatas lantai, hanya kain tipis yang tidak pantas disebut karpet memisahkanku dengan dinginnya lantai keramik kos-kosan. Dan sejurus kemudian aku telah terbang ke alam mimpi. Alam dimana aku bisa benar-benar bebas menjadi diriku sendiri. Hanya disinilah aku tidak akan menemukan dirinya. Di dalam mimpi, eksistensiku benar-benar absolut. Tidak lagi berada di bawah bayang-bayangnya lagi.
            Seperti hari kemarin, suara itu datang lagi. Suara yang sama dengan mimpi-mimpiku sebelumnya. Sekian lama kucari darimana suara itu berasal,tapi sia-sia. Seperti dalam mimpi sebelumnya, tak pernah bisa kutemukan asal muasal suara itu.
            “Bagaimana? Apakah kau sudah siap menjadi dirimu sendiri?” Pertanyaan yang sama, yang tidak pernah bisa aku jawab.
            “Siapa kau?” aku berteriak ke segala arah, tak tahu dimana wujud lawan bicaraku.
            “Tidak perlu kau tahu, turuti saja apa kataku. Sudah saatnya kau berdiri sendiri. Keluarlah dari bayang-bayang orang itu!!”
            “Tidak bisa, aku tak bisa berpisah dengannya.” Jawabku lagi setengah membentak.
            “Kau bisa. bunuh dia!!”
            Suaranya begitu menggelegar. Seketika aku terbangun dan mendapati nafasku yang sedang terengah-engah. Aku rasakan tanganku tengah menggenggam sesuatu.
            “Tidak. Darimana pisau ini?” tanyaku kebingungan, tak tau darimana pisau itu berasal dan bagaimana tiba-tiba bisa ada dalam genggamanku.
            Kulihat dia sedang tertidur pulas, membuatku menjadi semakin kebingungan. Tak mungkin sanggup aku membunuhnya. Tapi aku juga tak sanggup terus-menerus tersiksa seperti ini.
            Sudah kuputuskan. Kuangkat pisau itu, dan kutatap ujungnya yang tajam dan berkilau. Kilatan cahaya yang memantul dari tajamnya pisau itu seakan telah ikut meyakinkanku. Kuarahkan tepat ujung itu ke tengah-tengah jantungku.
            “Selamat tinggal bayanganku. Aku benar-benar tidak sanggup terus-menerus berbagi tubuh denganmu. Akan kutemui Tuhan dan kuminta untuk membuatkan satu tubuh lagi untukku.” Itulah kata-kata terakhir yang kuucapkan. Dengan sangat yakin kuayunkan pisau tepat di jantungku.
            “Bodoh. Jangan lakukan itu!!” sempat kudengar teriakannya menahanku. Tapi terlambat.
***
            Di pagi yang sangat cerah, seorang anak kecil penjaja koran mulai mondar-mandir menawarkan dagangannya. Sekilas terbaca headline koran harian pagi itu ‘SEORANG PENGIDAP KEPRIBADIAN GANDA DITEMUKAN BUNUH DIRI DI KAMAR KOS’.
Irul
Surabaya, #kos, 24/4/11 02:01 PM


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

love network

love network
love for all