Pages

Kamis, 11 Agustus 2011

Logika Sejarah

Secara teoritis, sejarah memerlukan dua pilar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, jika orang ingin melakukan rekonstruksi tentang masa lampau. Kedua pilar itu adalah logika dan pengetahuan. Dengan kekuatan logika orang akan mampu menyaring dan memisahkan secara cerdas dan kritikal antara fakta dan mitos legenda. Logika itu sendiri akan membimbing orang untuk melihat masa lampau secara jernih dan bertanggung jawab. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam al-Muqaddimah-nya sangat menekankan agar seorang sejarawan tidak boleh menjadi partisan terhadap pandangan-pandangan dan mahzab-mahzab tertentu dalam membaca masa lampau, sebuah “penyakit” yang diidap oleh sejarawan muslim sebelumnya.

Pilar kedua adalah pengetahuan yang luas yang harus dimiliki seorang sejarawan untuk mendukung kariernya sebagai seorang peneliti terhadap kelampauan yang tidak mungkin lagi diakses secara langsung karena sudah terjadi. Melalui jejak kelampauanlah seorang melakukan rekonstruksi tentang peristiwa tertentu pada masa lampau yang menjadi pusat perhatiannya.

Untuk apa dan untuk kepentingan siapa? Bertnard Russel mengatakan untuk pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Italia, Benedetto Croce (1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang hidup, bukan untuk kepentingan mati. Sebab itu, Croce berteori, sejarah selalu bersifat kontemporer, sekalipun semuanya diambil dari kelampauan. Karena sifatnya kontemporer, unsure subjektif tidak dapat dihindari, selama bangunan sejarah itu ditegakkan di atas fakta.

Untuk mendapatkan pengetahuan luas sebagai salah satu pilar sejarah, Ibn Khaldun dalam meramu teorinya telah mempelajari lingkungan geografis, politik, sosiologis, antropologis, psikologis, dan dimensi-dimensi lain yang dapat memperkaya metode analisisnya. Daerah jelajah intelektualnya adalah Afrika utara dan Andalusia. A.J. Toynbee (1889-1975) demikian tinggi menilai al-Muqaddimah sebagai sebuah karya dahsyat yang pernah diciptakan otak manusia. Tanpa latar belakang pengetahuan yang luas, seorang sejarawan pasti akan gagap dan meraba-rabadalam melihat masa lampau yang memang unik itu.

Karena sejarah ditulis untuk kepentingan orang hidup dalam sebuah zaman dan ruang tertentu, maka teori khilafah, misalnya, yang diusung kembaliolehTaqiyuddin an-Nabhani untuk membangun sebuah dunia Muslim yang masih berserakan ini, patut juga diperhatikan. Tetapi, mengaitkannya sebagaise suatu yang syar’I, jelas berlebihan, sebab tidak ada pijakan logika Qur’ani yang dapat dijadikan dasar sepanjang pengetahuan saya. Memang, khilafah adalah fakta sejarah masa lampau yang benar-benar terjadi. Hanya orang buta saja yang tidak dapat melihat fakta keras ini.

Tetapi apa yang dilakukan Abu Bakar dan Umar bin Khattab untuk membangun system khilafah semata-mata sebagai buah itjihad yang terikat dengan ruang dan waktu. Sebagai itjihad, kedudukannya adalah nisbi, sah diterima dan sah pula untuk ditolak dengan argumentasi yang kokoh secara agama dan logika. Orang yang berilmu tidak boleh memaksakan sebuah pendapat yang bersifat itjihadi.

Dalam persfektif ini, meratapi kejatuhanTurki Usmani di tangan Kemal Attaturk yang dipandang sejumlah orang sebagai bentuk khilafah yang terakhir, yang jelas menyesatkan dan ahistoris. Saya mendukung pendapat Shah Wali Allah, pembaru dari India abad ke-18, yang mengatakan bahwa system khilafah hanya sampai pada periode Ali bin AbiThalib, khalifah terakhir dari al-khulafa’ al-rasyidin yang hanya berusia kurang sedikit tiga dasawarsa.

System politik yang berkembangsedudahitu di dunia Muslim adalah system kerajaan, baik dalam skala kecil maupun skala besar dalam format imperium. Bukan sistem khilafah karena salah satu diktum Al-Qur’an tentang prinsip egalitarian dalam politik telah dibuang ke dalam limbo sejarah. Mu’awiyah adalah figur transisi antara sistem khilafah dan sistem kerajaan. Dengan mengangkat anaknya Yazid sebagai penggantinya, maka bermulalah sistem kerajaan itu, sekalipun untuk mengelabui umat Islam agar tetap setia, mantel khalifah terus dipakai, sedangkan proses pembentukan atau pengangkatannya sudah tidak lagi mengacu kepada Al-Qur’an yang mengedepankan syura (musyawarah) dalam kehidupan masyarakat.

System khilafah dalam teori al-Mawardi (w. 1058), misalnya, masih saja mensyaratkan keturunan Quraisy untuk menjadi kahlifah. Ini tidak mengherankan, karena dia membangun teori politiknya dalam upaya mempertahankan Daulah Abbasiyah yang masih berdarahQuraisy yang pada abad ke-11 sudah sangat rapuh. Bagi saya, masalah kepemimpinan umat yang dikaitkan dengan keturunan darah tertentu harus ditolak karena anti logika danbahkan anti Al-Qur’an yang menempatkan manusia sama di depanTuhan dan di depan sejarah.
Perubahan zaman harus mengubah cara berpikir kita, tetapi nilai-nilai dasar yang autentik wajib dipertahankan. Dalam perspektif ini, prinsip syura dalam Al-Quran diartikulasikan sesuai dengan keperluan zaman kita. Logika sejarah mengatakan begitu. Maka, bentuk demokrasi lebih dekat kepada system syura itu.

Oleh Ahmad Syafii Maarif
Dalam Bukunya "Al-Qur'an dan Realitas Umat"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

love network

love network
love for all