Pages

Minggu, 21 Agustus 2011

Tangisan Seorang Iblis


                       “Lapar.” Hanya kata itu yang sanggup diucapkan pria tua yang kini di depanku. Tampak sekali bersusah payah dia menggerakkan bibir keringnya. Dengan nafas yang sudah ‘senin kemis’ dia mencoba bertahan hidup. Entah sudah berapa lama kerongkongannya tak dilalui oleh barang sepotong roti sisa sekalipun.
                Sebagaimana manusia pada umumnya, tentu aku merasa iba. Bagaimana mungkin kondisi mengenaskan seperti pemandangan yang kulihat ini tak menggetarkan hati. Yang aku ketahui dari pelajaran agama dan kitab suci, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, yang mempunyai akal dan perasaan kasih saying terhadap sesame makhluk Tuhan lainnya. Mungkin hanya manusia berhati batu saja yang tega berdiam diri tidak berbuat apa-apa dan membiarkan pria tersebut mati kelaparan.
                Seketika aku teringat kisah tentang seorang pelacur yang bahkan rela menuruni sumur hanya untuk mengambilkan air untuk minum anjing yang hampir mati kehausan. Bahkan orang yang selalu dianggap hina dan berdosa seperti itu saja masih memiliki peri ‘kehewanan’ yang sangat mengharukan. Apalagi semua ini tentang manusia. Tentang makhluk yang memiliki bentuk morfologi sama dengan kita. Ada juga kisah tentang Mahatma Gandhi, yang meskipun sedang berjuang memerdekakan negaranya dari kolonialisme Inggris, manusia bijak ini tetap tidak mau menggunakan kekerasan sebagai bentuk perlawanannya. Juga masih ada Nelson Mandela, Noam Chomsky, Benazir Bhutto, dan masih banyak lagi orang-orang yang membuat kita bangga telah menjadi anggota spesies homo sapiens.
                Karena itulah aku berpikir bahwa siapapun yang akan menemukan dia dalam kondisi seperti ini pasti akan dengan segera menolongnya. Paling tidak memberikan makan dan minum barang sedikit, paling tidak untuk memperpanjang nafasnya beberapa jam lagi. Namun aku cepat-cepat menarik pikiranku tersebut. Aku teringat cerita sejarah tentang kekejaman Adolf Hitler, Vledimir Lenin, dan Joseph Stalin. Tiga orang jelmaan iblis yang telah membantai jutaan nyawa manusia selama hidupnya. Entah terbuat dari apa hati mereka bertiga? Aku pikir bukan lagi dari batu, melainkan dari baja berbahan DRI (Direct Reduction Iron) yang terkenal sangat keras. Sehingga membunuh jutaan manusia bagi mereka tidak lebih dari sekedar menginjak mati sekawanan semut tanpa sengaja.
                Ketiga iblis tersebut hanyalah sedikit contoh dari banyaknya iblis-iblis berwujud manusia yang bertebaran di muka bumi ini. Yang dengan senang hati membunuh, merampok, dan memperkosa sesamanya. Hak asasi, kemanusiaan, keadilan dan persaudaraan hanyalah angan-angan kosong bagi mereka yang bahkan sama sekali tidak dicita-citakan.
Semakin berkembang dan betambah kaya perusahaan-perusahaan multinasional raksasa di seluruh penjuru dunia, namun semakin sulit pula bagi Negara-negara miskin seperti Ethiopia dan Somalia untuk sekedar lepas dari bencana kelaparan. Semakin bertebaran dan ramainya minimarket-minimarket modern, namun semakin bangkrut pula toko-toko kecil yang sejak lama menjadi sumber kehidupan jutaan istri dan anak-anak. Semakin meningkatnya kesejahteraan dan kemewahan para penguasa, namun semakin melaratnya rakyat-rakyat gembel di seluruh pelosok negeri.
Mengetahui kenyataan tersebut memnuat kita seperti ditampar oleh pukulan yang sangat keras. Menimbulkan berjuta pertanyaan yang entah bisa dijawab atau tidak. Bagaimana mungkin kita, manusia, sebagai puncak kesempurnaan penciptaan Tuhan melakukan tindakan-tindakan yang hanya pantas dilakukan oleh binatang? Bagaimana mungkin sesama manusia sebagai makhluk yang beradab bisa saling memangsa, saling memonopoli, dan saling memarjinalkan? Dimanakah penghargaan kita terhadap nyawa? Dan dimana pula cita-cita kita untuk mewujudkan keadilan?
Entahlah, kepalaku terlalu pening untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Biarlah para sarjana dan ahli-ahli teori yang memikirkan jawabannya. Sekarang aku harus kembali fokus. Di depanku ada seorang tua yang sedang meregang nyawa, kondisinya sangat memilukan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya punya uang yang bahkan kurang membeli ‘pengganjal’ perutku sendiri, dan aku benar-benar bukanlah termasuk golongan orang-orang kaya. Aku juga termasuk orang yang kelaparan, yang jatah rejeki dari Tuhanku telah dirampok bos-bos kapitalis raksasa.
Dan yang lebih menyedihkan lagi aku bukanlah orang seperti Mahatma Gandhi, bahkan aku juga tak lebih manusiawi dari pelacur penyelamat anjing. Aku mungkin adalah titisan Hittler, lenin, atau mungkin Stalin. Aku pun juga layaknya iblis, aku bukan manusia. Nuraniku telah lama mati, dibunuh dengan keji oleh kemiskinan dan kelaparan.
Dan kini aku menangis, sambil melangkah pergi meninggalkan orang tua itu. Kumatikan saat itu juga rasa ibaku kepadanya. Entah apa yang akan terjadi dengannya nanti aku tidak tahu. Biarlah menjadi urusan Tuhanku dan iblis-iblis lain yang telah mematikan nurani dan sisi kemanusiaanku.
IRUL at lovely room
12 august 2011 09:01 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

love network

love network
love for all