Sebuah buku tentang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang ditulis budayawan Mohamad Sobary diyakini sejumlah kalangan sebagai pertanda bahwa tokoh pluralis itu tak pernah mati, kecuali cuma raganya.

Dalam peluncuran "Jejak Guru Bangsa, Mewarisi Kearifan Gus Dur" itu, sejumlah sahabat Gus Dur angkat bicara. Pengusaha Sudhamek yang mengenal Gus Dur dari dekat mengatakan, Gus Dur tak pernah meninggalkan orang-orang yang senantiasa membutuhkan inspirasi. "Jasadnya bisa pergi, tapi spirit Gus Dur akan senantiasa mengilhami," katanya.

Rohaniwan Franz Magnis Suseno melihat Gus Dur sebagai salah satu sosok terpenting pascagenerasi empat lima. Bagi Magnis, tak ada orang yang begitu peduli pada kaum minoritas seperti Gus Dur. Keberaniannya membela kaum minoritas belum tertandingi siapapun.

Djohan Effendi, sahabat Gus Dur, mengenang kembali saat-saat penting ketika keduanya berinteraksi. Djohan bercerita kenapa Gus Dur ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hasrat Gus Dur itu, demikian Djohan, muncul setelah ada undangan dari Israel.

"Saat itu Gus Dur dan saya diundang Yitzak Rabin ke Israel. Pada waktu itu terjadi perjanjian perdamaian antara Israel dan Yordania. Kami mendengar dari pihak Israel bahwa mereka ingin sekali berdamai. Mereka bilang, hanya orang yang berperang bisa merasakan betapa berartinya suatu perdamaian. Bagi yang tak mengalami pedihnya peperangan, sulit menghayati arti damai," tutur Djohan.

Setelah mendengar suara hati dari Israel itulah, demikian Djohan bercerita, Gus Dur tergerak untuk ikut membantu terjadinya perdamaian antara Israel dan Palestina. "Tapi bagaimana bisa kita membantu kalau kita tak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Di sini lah mulai timbul keinginan Gus Dur untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel," kata Djohan.

Djohan yang pernah menyunting buku "Pergolakan Pemikiran Isam, Cacatan Harian Ahmad Wahib" itu pada hakikatnya hendak menjelaskan kepada publik latar belakang yang mendasari pemikiran Gus Dur.

Gagasan Gus Dur mengenai Indonesia perlu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel mendapat kecaman keras. Bahkan Gus Dur sampai harus menerima tuduhan menyakitkan dari beberapa kalangan umat Islam sendiri. "Gus Dur antek Israel," kata sebagian di antara mereka.

Djohan juga berkisah tentang ide Gus Dur mencabut ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pelarangan Partai Komunis Indonesia, yang implikasinya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Karena ketetapan itu, anak-anak yang dilahirkan pada tahun enam puluhan ke atas harus menanggung ketidakadilan. Mereka direnggut haknya untuk mendapat pekerjaan karena orang tua mereka terlibat peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S/PKI).

Djohan yang paradigma berpikirnya selaras dengan Gus Dur itu juga bercerita tentang satu momen ketika dia dan Gus Dur jadi pembicara di sebuah seminar di Palembang yang berlangsung pada hari Jumat. Ketika waktu sembahyang Jumat tiba, panitia seminar bertanya: "Pak Djohan hendak shalat di mana?" Karena merasa sebagai musyafir, Djohan memilih tidak sembahyang Jumat. Tapi yang diucapkan Djohan pada penanya bukannya: "Saya musyafir". Tapi, "Saya ikut Gus Dur," ucap Djohan.

Kang Sobary mengatakan bahwa hubungannya dengan Gus Dur terlampau dekat. Meskipun dalam buku itu banyak cerita yang mengharumkan Gus Dur tapi buku itu tak sampai terjebak pada upaya memitoskannya. "Mitos tak mungkin lahir dari kedekatan seperti itu," tuturnya.

Peluncuran buku yang dipandu Najwa Shihab itu tentunya akan lebih bergemuruh seandainya ada pembicara yang menjadi musuh Gus Dur, setidaknya musuh ideologis. Soal ini, oleh Romo Magnis, dianggap tak begitu bermasalah.

"Gus Dur biasa menerima pujian dan kritik atau kecaman. Jadi tidak apa-apa kalau musuh Gus Dur diberi kesempatan bicara," kata filosof dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu.

Sobary berpendapat lain. Andai musuh Gus Dur didatangkan saat itu, pastilah orang itu akan dihabisi dalam forum. "Kasihan juga dia," katanya.

Bagi Sobary, Gus Dur adalah orang yang mau memberikan segalanya untuk siapapun yang memintanya. Ketika menjadi presiden, Gus Dur tak pernah menolak permintaan tamu-tamunya. "Ada yang minta ketemu malam hari, dilayaninya. Ini bedanya dengan presiden lainnya. Gus Dur bukan orang modern yang suka menjadwal waktu kerjanya."

Ada cerita dari orang dekat Gus Dur. Ini cerita di saat-saat Gus Dur jatuh sakit. Seorang sahabat begitu iba melihat Gus Dur terkulai di tempat tidur. Timbullah usul buat Gus Dur. Sahabat itu pun berkata: "Gus, sampeyan ini kan sering memberikan obat mujarab pada orang-orang yang sakit. Hanya dengan segelas air putih yang sampeyan beri doa-doa, mereka sembuh. Doa sampeyan untuk orang-orang itu terkabul. Kenapa sampeyan tidak berdoa minta kesembuhan pada Allah untuk sampeyan sendiri?"

Gus Dur konon tak segera menjawab. Lalu katanya: "Saya ini malu pada Allah. Saya tak mau minta-minta padanya. Allah sedang memberi saya nikmat yang luar biasa. Yang saya rasakan sekarang ini adalah nikmat. Apa lagi yang perlu saya minta dari Nya?"

Gus Dur lalu lelap--dalam kenikmatanNya. (M020/K004)